on Kamis, 30 Oktober 2014
Pada desain kohort, kita hanya mengobservasi sehingga kita tidak dapat memberikan intervensi atau faktor paparan secara random pada kelompok paparan dan tidak paparan. Pada pembahasan ini, kita akan membahas penelitian eksperimental atau intervensi (intervention trial). Tujuan dari penelitian eksperimental adalah untuk mengukur efek dari suatu intervensi terhadap hasil tertentu yang diprediksi sebelumnya.Desain ini merupakan metode utama untuk menginvestigasi terapi baru.Misal, efek dari obat X dan obat Y terhadap kesembuhan penyakit Z atau efektivitas suatu program kesehatan terhadap peningkatan kesehatan masyarakat. Beberapa contoh penelitian dengan desain eksperimental, seperti;1) mengukur efektivitas penggunaan antibiotik terhadap perawatan wanita dengan gejala infeksi saluran urin dengan hasil tes urin negatif /negative urine dipstict testing [6], efektivitas program MEND (Mind, Exercise, Nutrition, Do it) terhadap tingkat obesitas pada anak-anak (www.mendcentral.org)[7] dan efektifitas kawasan tanpa rokok (non-smoking area) pada tingkat rumah tangga di Kabupaten Ogan Ilir pada tahun 2014, Sumatera Selatan (Najmah dkk, 2014).(1) 
Kelebihan penelitian eksperimental adalah memungkinkan untuk dilakukan randomisasi dan melakukan penilaian penelitian dengan double-blind. Teknik randomisasi hanya dapat dilakukan pada penelitian intervensi dibandingkan penelitian observasional. Dengan teknik randomisasi, peneliti bisa mengalokasikan sampel penelitian ke dalam dua atau lebih kelompok berdasarkan kritieria yang telah ditentukan peneliti (gambar 1, 2) lalu diikuti ke depan. Teknik randomisasi bertujuan untuk menciptakan karakteristik antar kelompok hampir sama dalam penelitian. Kemudian, desain ini juga memungkinkan peneliti melakukan double-blind, dimana peneliti maupun responden tidak mengetahui status responden apakah termasuk dalam kelompok intervensi atau non-intervensi. Kekuatan desain ini bisa meminimalisir faktor perancu yang dapat menyebabkan bias dalam hasil penelitian.
Kelemahan penelitian eksperimental berkaitan dengan masalah etika, waktu dan masalah pengorganisasian penelitian[8]. Intervensi biasanya berkaitan dengan manusia, dan membutuhkan kerjasama dari responden pada kelompok intervensi/non intervensi, tenaga kesehatan, peneliti, laboran dan sebagainya terkait dengan penelitian, sehingga butuh managemen yang tidak mudah karena melibatkan banyak pihak. Untuk mengurangi isu etika, ketika kita melakukan intervensi baru pada satu kelompok, kelompok lainnya sebaiknya diberikan intervensi standar sehingga masalah etika bisa diminimalisir (bukan plasebo) atau tanpa intervensi pada kelompok kontrol.

Bonita (2006) mengelompokkan studi klinis menjadi beberapa tipe(1), antara lain:

Secara garis besar, desain eksperimental dalam epidemiologi, dibagi menjadi dua kelompok besar; 1) penelitian eksperimen /randomised controlled trial (RCT) dan 2) penelitian eksperimen klaster / cluster randomised controlled trial (Cluster RCT). Eksperimen dengan desain RCT umumnya dilakukan untuk intervensi secara individu seperti percobaan obat baru, efektivitas vaksin sedangkan kluster RCT dilakukan untuk intervensi secara kelompok (cluster) seperti untuk melihat efektivitas promosi dan pelayanan kesehatan.Dalam perhitungan analisa statistik dan perhitungan sampel, korelasi dan jumlah kluster lebih harus diperhitungkan dibandingkan desain RCT yang berasumsi setiap individu itu mandiri. Berikut perbedaaan RCT dan cluster RCT secara umum;[9]
Ringkasan 
Tidak ada studi desain yang sempurna, semua desain saling melengkapi satu sama lain Secara umum, studi observasi terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu studi deskriptif dan studi analitik. Studi deskriptif umumnya paling sering digunakan untuk menggambarkan pola penyakit dan dan untuk mengukur kejadian dari faktor risiko untuk penyakit (pajanan) pada satu populasi. Sedangkan jika kita ingin mengetahui asosiasi antara kejadian penyakit dan faktor risikonya, maka studi analitik dilakukan.
Secara garis besar, studi desain observasional ada 3 jenis:Potong Lintang (Cross sectional), Kohort (Cohort), dan Kasus Kontrol (Case-control). Perbedaan secara umum terletak pada faktor paparan (exposure factors) dan kejadian penyakit (disease). Studi desain potong lintang, faktor paparan dan kejadian penyakit terjadi pada masa sekarang secara bersamaan (in the present); studi desain kasus-kontrol, faktor paparan terjadi dimasa lalu dan kejadian penyakit terjadi pada masa sekarang; sedangkan desain kohort, faktor paparan terjadi dimasa sekarang, lalu diselidiki hingga kejadian penyakit apakah akan terjadi di masa depan.
Pada studi eksperimental bertujuan untuk mengukur efek dari suatu intervensi terhadap hasil tertentu yang diprediksi sebelumnya.Desain ini merupakan metode utama untuk menginvestigasi terapi baru.. Misal, efek dari obat X dan obat Y terhadap kesembuhan penyakit Z atau efektivitas suatu program kesehatan terhadap peningkatan kesehatan masyarakat. Pada studi analitik, yang paling tinggi adalah desain eksperimental, namun tetap saja masalah etik dan pengorganisasian penelitian serta dana yang tinggi selalu menjadi kelemahan pada desain ini. Desain yang termudah adalah potong lintang. Kita melakukan investigasi faktor paparan dan outcome pada satu waktu dan bisa dilakukan pada banyak responden dalam waktu singkat dan sumber daya yang terbatas. Namun, ketika kita ingin mendapatkan hasil studi dengan tingkat bias yang lebih rendah, kita bisa melakukan studi kasus kontrol dan selanjutnya kohort. Semua pemilihan desain, tergantung apa yang tersedia dan kemampuan peneliti. 

LATIHAN STUDI DESAIN EPIDEMIOLOGI
  1. Jelaskan tipe-tipe pada studi desain eksperimental atau uji klinis?
  2. Berikan satu contoh ide penelitian uji klinis/eksperimental, jelaskan studi yang anda gunakan disertai alur?
  3. Jelaskan kelemahan dan kelebihan penelitian dengan studi desain eksperimental, jelaskan dengan contoh?
  4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan teknik randomisasi?
  5. Buatlah mind mapping kesimpulan materi studi desain eksperimental?
DAFTAR PUSTAKA 
  1. Bonita R, Baeglehole R, Kjellstorm T. Basic of Epidemiology. Switzerland: WHO Press; 2006 [cited. Available from: http://whqlibdoc.who.int/publications/2006/9241547073_eng.pdf. p.39-51
  2. Webb P, Bain C, Pirozzo S. Essential Epidemiology, An Introduction for Students and Health Professionals. New York: Cambridge University Press; 2005. p. 118-145
  3. Najmah, Nuralam Fajar, RIco Januar Sitorus. The Effect of Needle and Syringe Program on Injecting Drug Users’ Use of Non-Sterile Syringe and Needle Behaviour in Palembang, South Sumatera Province, Indonesia International Journal of Public Health Research 2011; (Spesial Issue):193-9.
  4. Najmah, L. Gurrin, M.Henry, J.Pasco. Hip Structure Associated With Hip Fracture in Women: Data from the Geelong Osteoporosis Study (Gos) Data Analysis-Geelong,Australia. International Journal of Public Health Research 2011. 2011(Special Issue):185-92.
  5. Rothman KJ. Epidemiology, An Introduction. New York: Oxford University Press; 2002. p.57-93
  6. Richards D, Les Toop, Stephen Chambers, Lynn Fletcher. Response to antibiotivs of women with symptoms of urinary tract infection but negative dipstick urine test results: double blind randomised controlled trial. BMJ. 2008 22 June 2005:1-5.
  7. Sacher PM, Maria Kolotourou, Paul M. Chadwick, Tim J. Cole, Margaret S. Lawson, Alan Lucas, et al. Randomized Controlled Trial of the MEND Program: A Family-based Community Intervention for Childhood Obesity. Obesity. 2010;18(1):S62-S8.
  8. Elwood M. Critical Appraisal of Epidemiological Studies and Clinical Trials. New York: Oxford University Press; 2007. p. 19-44
  9. Dallas E. Study Design in Epidemiology. Melbourne; 2008 Contract No.: Document Number|.
on Rabu, 29 Oktober 2014
Secara umum, studi observasi terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu studi deskriptif dan studi analitik. Studi deskriptif umumnya paling sering digunakan untuk menggambarkan pola penyakit dan dan untuk mengukur kejadian dari faktor risiko untuk penyakit (pajanan) pada satu populasi. Sedangkan jika kita ingin mengetahui asosiasi antara kejadian penyakit dan faktor risikonya, maka studi analitik dilakukan. Ada beberapa tipe studi observasional secara umum, antara lain:[1, 2]


Studi deskriptif merupakan langkah awal dalam melakukan investigasi epidemiologi. Studi ini menjawab pertanyaan berkaitan dengan aspek epidemiologi yang meliputi ‘orang, tempat dan waktu ’ dan aspek ini dipergunakan untuk menjawab pertanyaan ‘ siapa?, apa?, dimana? dan ketika?’. Termasuk sebagai studi deskriptif adalah survey prevalensi, studi migrant dan seri penyakit (case series) [1, 2]. Survey prevalensi dilakukan untuk menggambarkan kondisi kesehatan suatu populasi atau faktor resiko kesehatan, misalnya Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di Indonesia, dilakukan secara rutin setiap dua-tiga tahun sekali, untuk melihat kondisi kesehatan masyarakat di Indonesia dan berguna untuk melakukan perencanaan kesehatan.

Studi migrant dilakukan jika kita ingin melihat perbedaan kondisi kesehatan atau penyakit pada masyarakat berbeda etnik, suku dan negara. Studi ini juga melihat perubahan pola penyakit pada etnik yang berbeda jika mereka bermigrasi ke negara lainnya. Misal, etnik Jawa yang tinggal di Indonesia akan memiliki pola penyakit berbeda dengan etnik Jawa yang telah lama tinggal di Australia. Ataupun perbedaan pola penyakit etnik Jepang yang tinggal di Jepang dan etnik Jepang yang telah lama bermigrasi ke Amerika. Sedangkan, case series (studi kasus berturut-turut) dilakukan jika kita ingin melihat karakteristik suatu penyakit yang terjadi di suatu populasi. Misal, kejadian Flu Burung pada manusia di Indonesia. Kita bisa mempelajari karakteristik pasien Flu Burung di Rumah Sakit X di Indonesia dengan memperhatikan perbedaan karakteristik pasien, gejala umum dan spesifik Flu Burung pada beberapa pasien yang positif ataupun terduga (suspect) menderita Flu Burung.

Ketika kita akan menggali pertanyaan ‘kenapa’, kita perlu melakukan studi analitik untuk menjawab pertanyaan tersebut. Studi Analitik merupakan studi yang menganalisa hubungan antara status kesehatan dan variabel lainnya[1, 2]. Sebagai contoh, penelitian Najmah dkk [3], melakukan investigasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku penggunaan alat dan jarum suntik tidak steril pada pengguna napza suntik. Selain melakukan studi deskriptif sebagai langkah Epidemiologi awal, peneliti menggambarkan karakterikstik penasun di Kota Palembang, peneliti melakukan studi analitik juga untuk mengetahui, hubungan antara faktor karakteristik penasun dan variabel lainnya (lama menggunakan napza suntik, pengetahuan tentang har m reduction dan HIV, sikap terhadap harm reduction dsb) terhadap perilaku penggunaan jarum dan alat suntik steril. Peneliti melakukan studi analitik dengan menganalisa hubungan antara karakteristik penasun, dan variabel lainnya terhadap perilaku penasun tersebut. 

Studi lainnya, misalnya kejadian patah tulang pinggul pada wanita lansia di Indonesia, ketika kita melakukan studi deskriptif apa yang bisa kita investigasi? Kita bisa investigasi beberapa pertanyaan seperti:
  1. Gambaran dimensi-dimensi tulang pinggul lansia berdasarkan hasil X-Ray, seperti kepadatan tulang, diameter endokortikal, lebar leher femur, dan dimensi lainnya
  2. Prevalensi patah tulang pinggul pada wanita lansia pada desa dan kota di 10 Provinsi terbesar di Indonesia
  3. Trend kejadian patah tulang pinggul pada wanita lansia dari tahun 2005-2014 di Indonesia
  4. Proporsi konsumsi vitamin D, kalsium dan penggunaan hormon steroid pada wanita lansia
  5. Gambaran kebiasaan aktifitas fisik wanita lansia di Indonesia



Bagaimana studi analitik? Kita bisa menghubungkan beberapa variabel, misalnya:
  1. Identifikasi perbedaan umur dan kepadatan tulang pada wanita lansia
  2. Analisa hubungan konsumsi kalsium dan vitamin D terhadap kejadian patah tulang pinggul
  3. Identifikasi hubungan antara aktifitas fisik dan pencegahan patah tulang pinggul pada wanita lansia dan sebagainya.

Langkah-langkah dalam menentukan tipe desain studi observasional dalam epidemiologi[1, 2], pelajari kembali STUDI KASUS 1

Tahap pertama: tentukan variabel dependen dan variabel independennya. Dalam studi ini, dapat kita pelajari bahwa variabel independennya adalah Program Terapi Rumatan Metadon sedangkan variabel dependennya adalah angka kesakitan atau kematian akibat HIV/AIDS dan penyakit yang ditularkan melalui darah lainnya dan overdosis narkoba


Tahap kedua: tentukan studi desain yang tepat untuk mengetahui efektivitas PTRM. Secara garis besar, studi desain observasional ada 3 jenis:Potong Lintang (Cross sectional), Kohort (Cohort), dan Kasus Kontrol (Case-control). Perbedaan secara umum terletak pada faktor paparan (exposure factors) dan kejadian penyakit (disease). Studi desain potong lintang, faktor paparan dan kejadian penyakit terjadi pada masa sekarang secara bersamaan (in the present); studi desain kasus-kontrol, faktor paparan terjadi dimasa lalu dan kejadian penyakit terjadi pada masa sekarang; sedangkan desain kohort, faktor paparan terjadi dimasa sekarang, lalu diselidiki hingga kejadian penyakit apakah akan terjadi di masa depan.


Studi lainnya, studi ekologi jarang digunakan untuk membuktikan uji hipotesa sebab akibat tetapi sering menjadi dasar untuk mengembangkan hipotesa. Studi ini mudah dilakukan jika data rutin siap tersedia, tapi hasil studi ekologi sulit untuk interpretasikan. Perbedaan angka kesakitan atau kematian pada beberapa populasi yang dibandingkan sangat besar dipengaruhi oleh faktor paparan lainnya, dengan kata lain faktor perancu dalam studi ekologi sangatlah tinggi[2].


Desain Potong lintang (Cross Sectional)
Bila kita memiliki keterbatasan dana, waktu dan tenaga, alternatif desain yang sederhana adalah desain potong lintang. Desain potong lintang dikenal juga dengan istilah survey. Kunci utama dalam desain potong lintang adalah sampel dalam suatu survey direkrut tidak berdasarkan status paparan atau suatu penyakit/ kondisi kesehatan lainnya, tetapi individu yang dipilih menjadi subjek dalam penelitian adalah mereka yang diasumsikan sesuai dengan studi yang akan kita teliti dan mewakili populasi yang akan diteliti secara potong lintang sehingga hasil studi bisa digeneralisasikan ke populasi. Oleh karena itu, faktor paparan dan kejadian penyakit/kondisi kesehatan diteliti dalam satu waktu.[2]
Dalam studi kasus 1, kita mengamati pengguna narkoba suntik tanpa membedakan mereka akses atau tidak akses PTRM atau status mereka dari HIV/AIDS atau overdosis narkoba. Sampel kita semua pengguna narkoba lalu kita telusuri apakah mereka akses PTRM dan pernah overdosis atau sebaliknya. Perhitungan yang bisa dihitung angka prevalensi dan rasio prevalensi. Kita mengumpulkan data dalam satu waktu dengan target sampel adalah pengguna narkoba suntik di suatu daerah atau Provinsi (lihat gambar 5)

Banyak sekali survey, studi deskriptif yang dilakukan di Indonesia. Contoh penelitian yang menggunakan desain ini adalah Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilaksanakan Kementrian Kesehatan Indonesia, surveilans terpadu biologis dan perilaku (STBP) pada kelompok resiko tinggi HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya, Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). Jika kita ingin menganalisa lebih lanjut dengan menghubungkan beberapa variabel yang ada pada survey diatas, misalnya hubungan antara pengetahuan ibu tentang HIV/AIDS terhadap sikap ibu kepada ODHA, data pada Riskesdas maka kita lakukan studi potong lintang dan bisa menghitung rasio prevalensi atau asosiasi yang kita inginkan.

Kelemahan studi desain potong lintang, antara lain:
  1. Keterbatasan dimensi dari interpretasi sebab akibat, yang kita kenal dengan istilah fenomena ayam dan telur (chicken and egg), kita kurang mengetahui apakah sebab atau akibat duluan dari suatu kondisi kesehatan atau penyakit.
  2. Desain ini tidak efisien untuk faktor paparan atau penyakit (outcome) yang jarang terjadi. Untuk pengolahan data analitik, kita membutuhkan faktor paparan dan penyakit dengan jumlah yang cukup sehingga peneliti bisa melakukan analisa asosiasi lebih lanjut.
  3. Kasus prevalensi kemungkinan tidak mewakili semua populasi jika angka rata –rata respons (response rate) yang bersedia mengikuti survey tidak mencapai target yang ditentukan.
Adapun kelebihan dari desain potong lintang adalah:
  1. Mengukur angka prevalensi, bukan angka insidens
  2. Sampel dalam studi dapat mewakili populasi dengan teknik sampling
  3. Metode dan desain serta definisi penelitian bisa distandardisasi, reliable dan single blind sehingga survey berulang dapat dilakukan untuk mengetahui trend penyakit atau kondisi kesehatan dan kebutuhan pelayanan kesehatan suatu negara dalam kurun waktu tertentu.
  4. Sumber daya dan dana yang efisien karena pengukuran dilakukan dalam satu waktu
  5. Kerjasama penelitian (response rate) dengan desain ini umumnya tinggi.

Desain Kasus Kontrol
Ketika kita bisa membedakan status responden sebagai kelompok yang menderita suatu penyakit atau suatu kondisi kesehatan dan status responden yang sehat atau memiliki penyakit lainnya, maka kita bisa melakukan penelitian dengan kasus kontrol atau case control. Ada dua kelompok partisipan yang akan direkrut dalam penelitian dengan studi ini, kelompok kasus dan kelompok kontrol. Partisipan di kelompok kasus pada sumber populasi didefinisikan sebagai semua orang yang akan datang ke pusat layanan kesehatan, baik Klinik, Puskesmas maupun Rumah Sakit dan datanya akan disimpan dalam rekam medis jika mereka menderita penyakit yang akan diteliti. Permasalahan yang sering muncul, pusat layanan kesehatan umumnya melayani masyarakat yang berbeda penyakitnya sehingga pola rujukan dan reputasi pusat layanan kesehatan sangat menentukan perekrutan kelompok kasus yang optimal [5].

Sedangkan, partisipan pada kelompok kontrol, dapat dipilih dengan beberapa cara, antara lain[5]:

  1. Kontrol dari Populasi (Population controls): kelompok kontrol diambil langsung dari populasi, umumnya dilakukan jika ada data registrasi populasi, atau kelompok tertentu. Hal ini biasanya dilakukan di negara maju yang memiliki data registrasi yang komprehensif sehingga bisa dilakukan melalui telepon, dan melalui surat/pos.
  2. Kontrol dari tetangga(Neighbourhood controls): kelompok kontrol diambil dari sekitar kelompok kasus yang ada, misal lebih kurang 10 meter tinggal di sekitar kasus. Misal, satu kasus yang melakukan bunuh diri, kelompok kontrol dipilih dari tetangga yang tidak melakukan bunuh diri.
  3. Kontrol dari Klinik atau Rumah Sakit (Hospital or clinic based controls): kelompok kontrol dipilih pada pusat layanan kesehatan yang sama dengan kelompok kasus direkrut, tetapi memiliki penyakit yang berbeda dan penyakitnya tidak berhubungan dengan faktor paparan pada kelompok kasus, misal kelompok kasus adalah pasien Kanker Paru, kelompok kontrol bisa dipilih dari pasien yang menderita gangguan pencernaan, sangat dihindari memilih kelompok kontrol yang juga merokok karena berhubungan dengan kanker paru.
  4. Kontrol dari orang yang telah meninggal (Dead people): kelompok kontrol direkrut dari responden yang telah meninggal karena penyakit lain dari kelompok kasus, umumnya kita menggunakan proxy atau perwakilan kelompok kontrol yang bisa kita wawancarai sama seperti menginvestigasi informasi dari keluargakelompok kasus yang telah meninggal.
Mari kita aplikasikan studi kasus 1 dengan studi desain kasus kontrol, penulis telah membuat alur penelitian dengan desain kasus kontrol dibawah ini, coba jelaskan bagaimana penelitian ini bisa dilakukan dengan desain ini. Silahkan coba anda jelaskan alur diatas, Apa yang kita mulai, dari mana kita memulai dan apa yang kita telusuri ke belakang??


Untuk memahami desain ini, kita lanjutkan pada studi kasus 2. 

“Peneliti ingin mengetahui apakah status gizi ibu mempengaruhi kejadian BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) di Sumatera Selatan.Karena kejadian BBLR tidak terlalu sering terjadi, maka peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian dengan desain kasus kontrol”.Apa yang harus kita pahami dalam studi kasus 2 ini? 
Pertama, peneliti menentukan kriteria kelompok kontrol dan kasus. Untuk kelompok kontrol, peneliti memberi kriteria yaitu ibu yang melahirkan anak yang tidak BBLR (>=2500 gram), sedangkan untuk kelompok kasus, kriteria inklusinya adalah ibu yang melahirkan anak yang BBLR. Peneliti ingin mengetahui hubungan status gizi ibu dengan resiko terjadinya BBLR. Lalu peneliti menanyakan pertanyaan berkaitan dengan status gizi(dengan kategori status gizi ibu baik dan status ibu gizi kurang) dan resiko BBLR kepada ibu-ibu yang baru saja melahirkan anaknya di beberapa Rumah Sakit dan Klinik Bersalin di Sumatera Selatan. Coba perhatikan alur desain penelitian kasus kontrol dbawah ini, dan coba buat alur yang sama untuk studi kasus BBLR.

Silahkan gambar alur penelitian studi kasus 2 Status gizi Ibu dan kejadian BBLR dengan studi desain kasus kontrol berdasarkan gambar 8.

Berdasarkan dua studi kasus sebelumnya, mari kita simpulkan kelemahan dan kelebihan penelitian dengan menggunakan studi desain kasus kontrol. Kelemahan penelitian dengan studi desain kasus kontrol adalah, [5],
  1. Hanya bisa menginvestigasi satu outcome atau satu kondisi kesehatan/penyakit, karena kita mulai dari satu kondisi kesehatan dan kita kilas balik ke belakang banyak paparan yang mungkin telah terjadi.
  2. Tidak bisa menghitung angka insiden atau ukuran asosiasi absolut lainnya. Kasus dipilih dari populasi sumber yang memiliki outcome, sedangkan kelompok kontrol merupakan estimasi distribusi faktor paparan dari populasi sumber, sehingga hasil perhitungan yang kita dapatkan adalah Odds Rasio (OR). Walaupun asosiasi bisa ditegakkan dengan perhitungan Odds rasio, tetapi tidak bisa menghitung resiko absolut (abosulute risk) karena angka insidens tidak diketahui
  3. Bias seleksi. Tidak mudah untuk memilih responden pada kelompok kontrol, karena responden sebisa mungkin tidak terpapar dari faktor resiko yang merupakan penyebab dari penyakit pada kelompok kasus, karena kemungkinan kelompok kontrol bisa menderita sakit yang sama seperti kelompok kasus, tetapi masih tahap tanpa gejala (asymptomatic group) dengan faktor resiko tersebut. Sehingga kemungkinan terjadinya bias seleksi sangat besar. Misal, untuk mengetahui hubungan antara kasus kanker paru-paru dan merokok. Untuk pemilihan kasus kontrol, peneliti harus semaksimal mungkin untuk memilih kelompok ini pada pasien penyakit selain kasus kanker, yang tidak terpapar dengan rokok, misal penyakit mag, pasien katarak yang bukan perokok dsb.
  4. Bias Informasi. Seperti kita pahami, bahwa informasi yang kita akan dapatkan tergantung daya ingat responden. Rekam medis dapat meminimalisir bias informasi, tetapi tidak semua faktor resiko/paparan terdokumentasi pada rekam medis. Oleh karena itu, kemungkinan bias pada informasi tinggi, terutama untuk kelompok kontrol. Kelompok kasus akan cenderung lebih mengingat faktor resiko yang dia alami daripada kelompok kontrol. Seperti contoh diatas, ibu dengan anak BBLR, umumnya daya ingat akan faktor paparan yang dia alami, memorinya akan lebih tinggi daripada ibu yang melahirkan bayi normal, misalnya status merokok, status gizi, periksa kehamilan dan sebagainya.
Untuk kelebihanya, tentu saja desain ini sangat tepat sekali pada kasus yang jarang terjadi di masyarakat, seperti kasus kanker, HIV/AIDS, sehingga kita bisa mengetahui faktor risiko suatu kondisi kesehatan dengan metode retrospektif dengan cepat, responden ditanya tentang faktor paparan yang telah terjadi pada periode tertentu di masa lampau hingga terjadinya penyakit. Kemudian, desain ini bisa dilakukan pada jumlah sampel terbatas dan bisa mengeksplorasi banyak faktor paparan dimasa lampau pada satu outcome. Odds rasio nilainya mendekati risk rasio (risk ratio), terutama pada kasus yang jarang terjadi. Nilai odds rasio merupakan rata-rata, karena kelompok kasus dan kontrol seharusnya mewakili populasi dengan memperhatikan paparan [5].

Desain Kohort
Ketika peneliti mempunyai waktu, tenaga dan pendanaan yang cukup dan telah banyak penelitian sebelumnya melakukan penelitian dengan desain potong lintang dan kasus-kontrol, maka pilihan selanjutnya adalah desain kohort. Kelebihan studi kohort adalah kita bisa menilai kausalitas karena faktor paparan terjadi sebelum responden sakit, sehingga adanya tingkat alur jelas antara faktor paparan kemudian baru terjadi sakit. Oleh karena itu, tingkat bias bisa diminimalisir terutama bias informasi, karena responden diikuti oleh peneliti ke depan (prospektif). Kemudian faktor perancu bisa dikontrol dan memungkinkan beberapa outcome hasil penelitian dapat dihasilkan dalam penelitian ini. Studi ini juga sangat baik untuk faktor paparan yang jarang terjadi dan memungkinkan peneliti menghitung angka insiden (incidence rates).
Kelemahan studi dengan desain kohort adalah memerlukan waktu yang panjang terutama untuk mengetahui efek dari beberapa faktor paparan karena desain ini umumnya untuk menginvestigasi penyakit kronik. Desain ini juga membutuhkan jumlah sampel penelitian dalam cukup besar yang bisa bermanfaat jika adanya banyak sampel yang hilang sepanjang penelitian berlangsung dalam periode tertentu (loss of follow up). Biaya yang dibutuhkan juga tidak murah pada desain ini. Kelemahan lainnya, jika penyakit yang diteliti jarang terjadi baik di group yang terpapar dan group tidak terpapar, sangat sulit sekali mencari responden dalam jumlah yang sangat banyak.
Contoh yang fenomenal adalah Framingham Cohort, yang dilakukan pada lebih dari 5209 responden yang berumur 30-62 tahun di Framingham, Ma, Boston hingga tiga generasi yang dimulai pada tahun 1948 dan diikuti hingga lebih dari 50 tahun kedepan(untuk melihat hasil penelitian dapat diakses di http://www.bmc.org/strokecerebrovascular/research/framinghamstudy.htm).

Sudah lebih dari 1000 publikasi untuk penelitian ini. Contoh beberapa topik yang sudah dieksplorasi selama lebih kurang 50 tahun itu antara lain:

  1. Faktor risiko vaskular baik yang konvensional maupun baru
  2. Tindakan longitudinal penyakit subklinis yang dikumpulkan melalui ultrasound seri karotis, echocardiography, tonometry arteri dan CT dan MR pencitraan struktur jantung , arteri pusat dan arterosklerosis koroner.
  3. Data mengenai perubahan struktural dan fungsional subklinis yang menyertai penuaan otak dikumpulkan melalui MRI otak volumetrik dan pengujian kognitif rinci.
  4. Data insiden titik akhir klinis stroke, gangguan kognitif ringan tanpa demensia dan demensia klinis ( pembuluh darah dan tipe alzheimer ). Data ini dikumpulkan melalui pemeriksaan dan tindak lanjut oleh ahli saraf studi dan neuropsychologists. Informasi tentang fase klinis setelah onset penyakit juga tersedia.
  5. Informasi mengenai diet, aktivitas fisik, depresi dan jaringan sosial
  6. Data alternatif penyebab morbiditas dan mortalitas termasuk kanker, jantung dan penyakit pembuluh darah perifer, tulang, paru-paru dan penyakit ginjal
  7. Database genetik padat termasuk genom informasi polimorfisme lebar pada 550.000 SNP dan pemetaan lebih dari 50 gen kandidat potensial relevansi kardiovaskular pada lebih dari 9000 orang di 3 generasi
Untuk studi kasus 1, PTRM dan kejadian kematian akibat overdosis atau kesakitan akibat HIV/AIDS, penulis telah membuat alur penelitian dengan desain kohort dibawah ini, coba jelaskan bagaimana penelitian ini bisa dilakukan dengan desain ini !


LATIHAN STUDI DESAIN EPIDEMIOLOGI
  1. Jelaskan perbedaan studi kohot dan studi potong lintang?
  2. Berikan beberapa contoh judul penelitian dengan studi desain kasus kontrol?
  3. Berikan beberapa contoh judul penelitian dengan studi desain kohort?
  4. Berikan beberapa contoh judul penelitian dengan studi desain potong lintang?
  5. Jelaskan kelebihan dan kelemahan studi desain kasus kontrol?
  6. Buatlah mind mapping kesimpulan materi studi desain observasional?
DAFTAR PUSTAKA 
  1. Bonita R, Baeglehole R, Kjellstorm T. Basic of Epidemiology. Switzerland: WHO Press; 2006 [cited. Available from: http://whqlibdoc.who.int/publications/2006/9241547073_eng.pdf. p.39-51
  2. Webb P, Bain C, Pirozzo S. Essential Epidemiology, An Introduction for Students and Health Professionals. New York: Cambridge University Press; 2005. p. 118-145
  3. Najmah, Nuralam Fajar, RIco Januar Sitorus. The Effect of Needle and Syringe Program on Injecting Drug Users’ Use of Non-Sterile Syringe and Needle Behaviour in Palembang, South Sumatera Province, Indonesia International Journal of Public Health Research 2011; (Spesial Issue):193-9.
  4. Najmah, L. Gurrin, M.Henry, J.Pasco. Hip Structure Associated With Hip Fracture in Women: Data from the Geelong Osteoporosis Study (Gos) Data Analysis-Geelong,Australia. International Journal of Public Health Research 2011. 2011(Special Issue):185-92.
  5. Rothman KJ. Epidemiology, An Introduction. New York: Oxford University Press; 2002. p.57-93
  6. Richards D, Les Toop, Stephen Chambers, Lynn Fletcher. Response to antibiotivs of women with symptoms of urinary tract infection but negative dipstick urine test results: double blind randomised controlled trial. BMJ. 2008 22 June 2005:1-5.
  7. Sacher PM, Maria Kolotourou, Paul M. Chadwick, Tim J. Cole, Margaret S. Lawson, Alan Lucas, et al. Randomized Controlled Trial of the MEND Program: A Family-based Community Intervention for Childhood Obesity. Obesity. 2010;18(1):S62-S8.
  8. Elwood M. Critical Appraisal of Epidemiological Studies and Clinical Trials. New York: Oxford University Press; 2007. p. 19-44
  9. Dallas E. Study Design in Epidemiology. Melbourne; 2008 Contract No.: Document Number|.
Pendahuluan

Investigasi Epidemiologi bertujuan untuk menjawab fenomena kejadian kesehatan yang ada di populasi.Anda bisa mengaplikasikan berbagai tipe studi desain dalam investigasi anda, tergantung situasi dan kondisi tertentu dan tingkat validitas yang anda ingin capai. Perhatikan contoh dibawah ini, pernahkan anda bertanya akan suatu kondisi berikut ini;

  1. Anda ingin mengetahui trend penyakit di suatu daerah
  2. Anda ingin mengetahui hubungan antara variabel umur dan kejadian kanker prostat
  3. Anda ingin menganalisa perbedaan karakteristik anak-anak yang mengalami keracunan makanan dan tidak mengalami keracunan makanan pada saat pesta ulang tahun si X 
  4. Anda ingin mengetahui apakah rokok dapat menyebabkan berbagai kanker di masa depan.
  5. Kenapa angka prevalensi HIV lebih tinggi di Papua di bandingkan di Sumatera
  6. ……………………………………………………………………………
  7. ……………………………………………………………………………

(coba anda tulis pertanyaan dalam pikiran anda)

Secara garis besar, desain penelitian dalam epidemiologi terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu penelitian eksperimental dan penelitian observasi.Tujuan dari penelitian eksperimen/ uji klinis adalah untuk mengukur efek dari suatu intervensi terhadap hasil tertentu yang diprediksi sebelumnya. Desain ini merupakan metode utama untuk menginvestigasi terapi baru.Misal, efek dari obat X dan obat Y terhadap kesembuhan penyakit Z atau efektivitas suatu program kesehatan terhadap peningkatan kesehatan masyarakat. 

Sedangkan penelitian observasional tidak melakukan intervensi apapun, tetapi, peneliti hanya mengobservasi kejadian atau fenomena yang terjadi di suatu masyarakat untuk menjawab pertanyaan penelitian. Misalnya, peneliti ingin mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu tentang gizi anak terhadap status gizi anak. Peneliti tidak melakukan intervensi berupa penyuluhan atau pelatihan seputar gizi anak kepada target penelitian terlebih dahulu. Peneliti hanya menyelidiki apakah salah satu yang mempengaruhi status gizi anak itu adalah pengetahuan ibu yang telah mereka miliki sebelumnya tentang gizi anak, mungkin dari media atau penyuluhan rutin oleh tenaga kesehatan di lokasi setempat. 

Contoh lainnya, peneliti ingin mengetahui faktor apakah yang berkaitan dengan kejadian bunuh diri di daerah X. Peneliti bisa mengumpulkan data dari keluarga yang salah satu anggota keluarganya melakukan bunuh diri kemudian dibandingkan dengan data dari keluarga yang tidak ada anggota keluarganya bunuh diri untuk menyelidiki penyebabnya. Penyelidikan fenomena bunuh diri bisa dengan mengumpulkan informasi mengenai sosioekonomi, status pernikahan, perilaku minum alkohol, kekerasan dalam rumah tangga, atau pertanyaan lainnya pada dua kelompok tersebut, lalu membandingkannya.


STUDI KASUS

Untuk lebih memahami perbedaan studi klinis dan observasi, coba diskusikan contoh kasus ini,seorang peneliti ingin mengetahui apakah layanan pemberian metadon dalam Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) kepada pengguna narkoba suntik dapat mengurangi penularan penyakit menular seksual berbasis darah termasuk HIV/AIDS dan kematian karena overdosis narkoba di Kota Palembang, Indonesia’, desain studi apakah yang cocok untuk mengetahui efektifitas PTRM terhadap penurunan HIV/AIDS dan kejadian overdosis? Mari kita diskusikan pada pembahasan selanjutnya.


on Minggu, 05 Oktober 2014

  1. Jelaskan yang anda pahami dari skirining dalam Epidemiologi ?
  2. Kenapa kita melakukan skrining/penapisan ?
  3. Berikan contoh pelaksanaan tes Skrining/penapisan pada Badan Kesehatan Dunia, tuliskan sumber website sumber contohnya (www.who.int) ?
  4. Jelaskan perbedaan sensitivitas dan spesifisitas ?
  5. Jelaskan yang dimaksud dengan sensitivitas dan spesifisitas rendah?
  6. Jelaskan perbedaan nila prediksi positif true positive value dan nilai prediksi negative- true negative value?
  7. Lakukan perhitungan untuk soal dibawah ini, hitunglah sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif positif dan nilai prediktif negative, dan interpretasikan ?
  8. Sebuah Tes Skrining/penapisan dengan mamografi untuk mendeteksi kanker payudara di Provinsi X sedang dievaluasi keefektifan dan sensitivitasnya. Mamografi tersebut dilakukan pada 880 WUS. Dan didapatkan fakta bahwa dua ratus orang yang didiagnosis terkena penyakit kanker payudara, hasil ujinya Positif. Sedangkan dua puluh orang yang terkena kanker payudara, menunjukkan hasil uji yang Negatif. Dan terdapat 30 orang yang tidak terkena penyakit kanker payudara, hasil mamografinya Positif. Berdasarkan Informasi tersebut, maka : a. Identifikasikan jumlah WUS yang masuk dalam kategori : Positif Benar/True Positive ; Positif Palsu-False Positive; Negatif PalsuFalse Negative dan Negatif Benar True Negative? Gambarkan tabelnya b. Hitunglah presentase Sensitivitasnya? c. Tentukan berapa Spesivisitasnya? d. Berapakah nilai prediktif positifnya? e. Berapakah nilai prediktif negatifnya? f. Berikan satu contoh perhitungan sensitivitas dan spesifisitas pada data kesehatan?
  9. Dilakukan Tes Criatinine Kinase untuk Membantu Diagnosis Infark Otot Jantung pada Rumah Sakit X, hasil diperoleh sebagai berikut. Hitunglah sensitivitas dan spesifisitas dari skrining/penapisan Infark otot jantung? Berapa jumlah positif benar dan negative benar pada skrining/penapisan ini?
  10. Jelaskan prinsip-prinsip yang harus dipertimbangkan sebelum melaksanakan skrining/penapisan ?
Sedikit disinggung pada materi "Perhitungan Sensitivitas dan Spesifisitas" mengenai Nilai Prediktif Positif (NPP) dan Nilai Prediktif Negatif (NPN). Sudah kita ketahui bahwa Nilai prediktif positif adalah proporsi pasien yang benar benar positf (true positive) di antara keseluruhan penderita yang menunjukkan hasil tes konfirmasi positif. Sedangkan Nilai Prediktif Negatif adalah persentase dari semua pasien yang benar-benar negative(sehat/true negative) diantara semua pasien yang menunjukkan hasil tes negatif . Jika dibandingkan dengan pemeriksaan standar emas, nilai prediktif positif adalah probabilitas subjek yang diidentifikasi positif oleh alat ukur benar-benar akan positif menurut standar emas di kemudian hari. Sedangkan, nilai prediktif negatif adalah probabilitas subjek yang diidentifikasi negatif oleh alat ukur akan benar-benar negatif menurut standar emas di kemudian hari.



Alat ukur memiliki nilai prediktif positif tinggi bila dikemudian hari terbukti banyak terjadi positif benar (true positive) dan sedikit positif palsu (false positive). Alat ukur memiliki nilai prediktif negatif tinggi bila dikemudian hari banyak terjadi negatif benar (NB) dan sedikit negatif palsu (NP). Alat ukur memiliki validitas prediktif tinggi jika memberikan skor Nilai Prediktif Positif dan Nilai Prediktif Negatif mendekati 100%(9). Nilai prediksi positif dan negatif terhadap tes pap smear adalah 52% dan 90 %. Dari hasil tes pap smear dapat disimpulkan, bahwa tes pap smear memiliki nilai negatif tinggi, ini berarti dimasa yang akan datang, kejadian kasus kanker serviks sesuai dengan hasil tes pap smear akan terdeksi tinggi dan kemungkinan akan terjadinya negatif palsu sangat sedikit, karena mendekati 100 %. Sedangkan nilai prediksi positif menunjukkan bahwa hanya sekitar 52%; hanya sebagian hasil tes pap smear di masa akan datang akan menunjukkan orang yang benar-benar sakit.

Contoh 2: Skrining/Penapisan Malaria



Sebuah skrining/penapisan Malaria dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi X pada populasi anak < 5 tahun (terdapat 624 anak) di Kecamatan A Kab. Provinsi X pada bulan Oktober 2013, adanya kejadian luar biasa pada kelompok anak-anak pada tahun 2012 menjadi alasan dilakukannya skrining/penapisan. Gejala klinis malaria adalah panas lebih dari 5 hari, batuk-batuk, kesulitan dalam bernafas dan peningkatan ritme pernapasan. Untuk mengkonfirmasi kasus dilakukan pemeriksaan darah mikroskopik untuk menemukan adanya parasit malaria di dalam darah. Hasilnya sebanyak 463 orang yang menunjukkan gejala klinis malaria dan 220 diantaranya positif parasitemia. Selanjutnya 161 orang tidak ditemukan gejala klinis namun 32 sampel darah anak menunjukkan positif parasitemia.

  • Tabulasikan data di atas dan narasikan berapa jumlah Positif Benar, Negatif Salah, Positif Salah, dan Negatif benar ? 
  • Hitunglah sensitivitas tes darah mikroskopis untuk parasitemia Malaria ? 
  • Hitunglah spesifisitas tes darah mikroskopis untuk parasitemia Malaria ?
  • Hitunglah nilai prediktif positif dan nilai prediktif negatif tes darah mikroskopis untuk parasitemia Malaria?

Penyelesaian: 
Dari data pada table 2 dapat diketahui, jumlah true positif adalah 220 orang, jumlah false negatif 243 orang, jumlah false positif adalah 32 orang, dan jumlah true negatif adalah 129 orang. Dari kasus diatas dapat dibuat tabulasi data sebagai berikut. 

Tabel 2. Skrining/penapisan Gejala Malaria berdasarkan tes dara mikroskopis pada Kecamatan A Provinsi X

Sensitivitas Tes Darah Mikroskopis
Spesifisitas Tes Darah Mikroskopis

Interpretasi: Hasil sensitivitas menunjukkan hasil 47,5 % mengindikasikan bahwa tes darah mikroskopis dapat mengklarifikasikan anak-anak benar-benar dengan gejala Malaria sebesar 47,5 %, sedangkan hasil spesifisits menunjukkan hasil 80,12 % berarti tes darah mikroskopis dapat mengklarifikasikan anak-anak benar-benar sehat pada anak tanpa gejala Malaria sebesar 80,12 %.



Hasil nilai prediktif positif lebih tinggi dari nilai prediktif negatif. Hasil ini menunjukkan hasil tes mikroskopis positif dapat memprediksi anak-anak dengan gejala Malaria cukup tinggi, sedangkan hasil tes mikroskopis negatif dapat benar-benar memprediksi anak-anak bebas dari Malaria cukup rendah, dengan kata lain banyak kasus negatif berdasarkan hasil skrining/penapisan, pada kenyataannya memiliki penyakit malaria.

on Sabtu, 04 Oktober 2014
Salah satu kriteria dalam tes skrining/penapisan adalah akurat dan realibilitas. Akurat menunjukkan sejauh mana hasil skrining/penapisan sesuai dengan kenyataannya. Sedangkan reliabilitas berhubungan dengan standardisasi perangkat pengujian atau test konfirmasi(1). Dengan kata lain, reliabilitas menunjukkan konsistensi alat pengukuran, jika pengukuran dilakukan berulang kali, hasil yang diperoleh tidak jauh berbeda. Dalam tes konfirmasi, Thornier dan Remain (1961) menemukan sebuah metode yang bernama Screening Test Thorner-Remain. Metode ini berupa alat konfirmasi diagnosis berupa tabulasi 2 x 2 yang menghasilkan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif dan prevalensi(8).

Menurut kamus Epidemiologi (A Dictionary of Epidemiology), sensitivitas adalah proporsi orang yang benar-benar sakit dalam populasi yang juga diidentifikasi sebagai orang sakit oleh tes skrining/penapisan/penapisan. Sensitivitas adalah kemungkingkinan kasus terdiagnosa dengan benar atau probabilitas setiap kasus yang ada teridentifikasi dengan uji skrining/penapisan/penapisan. d (frase: tingkat true positif) (3). Hal yang sama yang disampaikan oleh webb, et.al (2005) bahwa sensitivitas merupakan ukuran yang mengukur seberapa baik sebuah tes skrining/penapisan/penapisan mengklasifikasikan orang yang sakit benar-benar sakit. Sensitivitas digambarkan sebagai persentase orang dengan penyakit dengan hasiltest positif juga (1). Jika dibandingkan dengan pemeriksaan standar (gold standar), Sensitivitas adalah proporsi subjek yang positif menurut standar emas yang diidentifikasi sebagai positif oleh alat ukur (9). 
Sensitivitas mengukur seberapa sering tes menjadi positif pada orang-orang yang kita tahu memiliki penyakit pada kenyataanya. Misalnya jika kita melakukan tes pada sampel untuk dikembangbiakkan (dikultur) dari 100 wanita dengan infeksi Klamidia Servik, selanjutnya hasil kultur menunjukkan 80 diantaranya positif. Dengan demikian, dapat dikatakan pada kasus ini sensitivitas dari kultur Klamidia jaringan adalah 80 %(10).

Sedangkan spesifisitas berdasarkan Kamus Epidemiologi adalah proporsi orang yang benar-benar tidak sakit dan tidak sakit pula saat diidentifikasi dengan tes skrining/penapisan/penapisan. Ini adalah ukuran dari kemungkinan benar mengidentifikasi orang tidak sakit dengan tes skrining/penapisan/penapisan (frase: angka true negatif). Hubungan yang ditunjukkan dalam tabel berikut ini empat kali lipat, di mana huruf a, b, c, dan d merupakan jumlah yang ditentukan tabel di bawah ini(3). Webb, et.al (2005) menyampaikan bahwa spesifisitas merupakan ukuran yang mengukur seberapa baik sebuah tes skrining/penapisan mengklasifikasikan orang yang tidak sakit sebagai orang benar benar yang tidak memiliki penyakit pada kenyataanya. Sensitivitas digambarkan sebagai persentase orang tanpa penyakit yang secara test negatif(1). Jika dibandingkan dengan alat ukur standar, Spesifisitas adalah proporsi subjek yang negatif menurut standar emas yang diidentifikasi sebagai negatif oleh alat ukur(9).

Sensitivitas rendah berarti bahwa tes akan melewatkan banyak individu yang memiliki penyakit ini, sedangkan spesifisitas yang rendah menunjukkan bahwa tes akan menempatkan banyak orang dalam kelompok yang berpenyakit meskipun mereka tidak memiliki penyakit. Dalam jargon epidemiologi dikatakan bahwa suatu skrining/penapisan/penapisan dengan sesisitivitas yang rendah akan meningkatkan beberapa jumlah ‘false negatif’ sedangkan jika suatu skrining/penapisan/penapisan memiliki spesifisitas yang rendah akan menghasilkan banyak ‘false positif’.


Validitas prediktif (predictive validity, prognostic validity) merujuk kepada kesesuaian antara hasil pengukuran alat ukur sekarang dan hasil pengukuran standar emas di masa mendatang. Berbeda dengan validitas sewaktu, hasil pengukuran standar emas dalam validitas prediktif belum tersedia saat ini, melainkan baru diketahui beberapa waktu mendatang. (9) Nilai prediktif positif adalah proporsi pasien yang benar benar positf (true positive) di antara keseluruhan penderita yang menunjukkan hasil tes konfirmasi positif.(8) Nilai ini menjelaskan kita seberapa besar kemungkinan hasil tes positif menunjukkan adanya penyakit (1).Nilai Prediktif Negatif adalah persentase dari semua pasien yang benar-benar negative(sehat/true negative) diantara semua pasien yang menunjukkan hasil tes negatif (1). Jika dibandingkan dengan pemeriksaan standar emas, nilai prediktif positif adalah probabilitas subjek yang diidentifikasi positif oleh alat ukur benar-benar akan positif menurut standar emas di kemudian hari. Sedangkan, nilai prediktif negatif adalah probabilitas subjek yang diidentifikasi negatif oleh alat ukur akan benar-benar negatif menurut standar emas di kemudian hari(9).


PERHITUNGAN SENSITIVITAS DAN SPESIFISITAS


Dalam pelaksanan test skrining/penapisan, kita dapat melakukan evaluasi terhadap hasil test yang dilakukan dengan membandingkan hasil dengan Standar Emas atau standar yang paling baik (‘gold standard’) yang secara ideal akan memberikan 100 % hasil yang benar. Tes standar ini boleh jadi lebih mahal dan sangat memakan waktu yang lama atau mungkin kombinasi pelaksanaan investigasi di rumah sakit ini sangat tepat/realiabel untuk melakukan diagnosis tapi tidak cocok untuk penggunaan skrining/penapisan/penapisan yang rutin. (1) coba anda perhatikan gambar dibawah ini, apa yang bisa anda simpulkan ?



Kita analogikan pada kasus kanker servik dengan tes Pap Smears. Dari tabel 1. Dapat disimpulkan empat outcome yang dapat terjadi pada tes skrining/penapisan kanker serviks pada wanita usia subur. Seorang wanita dengan kanker serviks ketika di periksa dengan pap smear hasilnya juga positif kanker servik, disebut Positif Benar atau True positive’, sedangkan jika hasil tes pap smearnya negatif, disebut Positif Palsu atau ‘false positive’. Sedangkan jika wanita pada kenyataannya tidak menderita kanker serviks, pada tes pap smear pun menunjukkan hasil negatif, disebut dengan negative benar atau true negative, sebaliknya kalau hasil tes menunjukkan positif, maka disebut dengan negatif palsu atau ‘false negative’. 1) Berapa jumlah wanita dengan kanker serviks dan hasil paps smearnya menunjukkan positif ? 2) Berapa jumlah wanita sehat yang pada tes pap smear hasilnya negatif dan tes pap smear menunjukkan hasil positif? (Jawaban 1. PB ’50’; 2. NB’90’&PP’45’)

Untuk pengujian yang akurat harus menghasilkan kategori kelompok positif palsu dan negatif palsu yang sedikit. Jadi, bagaimana melakukan tes skrining/penapisan kanker serviks yang baik ? ada dua hal yang harus dipertimbangkan yaitu seberapa baik tes skrining/penapisan ini mengidentifikasi wanita yang benar-benar menderita kanker serviks dalam artian kategori Positif benar ? dan seberapa tepat tes ini mengklasifikasikan wanita sehat pada tes pap smear negatif dalam artian kategori Negatif Benar ? (1). Untuk itu perhitungan sensitivitas dan spesifisitas dilakukan.


Spesifisitas mengukur seberapa sering tes menjadi negatif ketika sedang digunakan pada orang-orang yang kita tahu tidak memiliki penyakit. Idealnya, sebuah hasil tes konfirmasi untuk penyakit haruslah selalu negatif ketika digunakan pada orang yang sehat dan hal yang demikian disebut dengan memiliki spesifisitas 100 %(9). Dari hasil diatas, diketahui bahwa sensitifitas tes pap smear adalah 83% dan spesifisitas 67%. Dari hasil ini dapat disimpulkan, tes pap smear dapat mengklarifikasikan WUS dengan kanker serviks benar-benar sakit pada kenyataannya adalah sekitar 83%. Sedangkan, hasil tes paps semar dapat mengkonfirmasi wanita usia subur yang benar-benar bebas dari kanker serviks sesuai hasil dan kenyataannya sebesar 67%.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa skrining/penapisan dibutuhkan dalam mendeteksi adanya penyakit sebelum dilakukan diagnosis klinis. Maka yang harus dipahami dalam melakukan skrining/penapisan adalah riwayat alamiah atau perjalanan sebuah penyakit dimulai dari biological onset hingga pada outcome dari suatu penyakit. Gambaran mengenai riwayat alamiah dari suatu penyakit dapat terlihat pada ilustrasi dibawah ini.


Dalam riwayat alamiah penyakit terdapat titik kritis (critical point) yang harus diperhatikan, titik kritis ini tidak boleh terlewat karena proses alamiah penyakit tidak dapat diubah lagi dan bisa jadi pengobatan yang dilakukan akan sia-sia. Misalnya, pada titik dimana kanker mulai menyebar ke jaringan lain (metastasis). Jika dilakukan skrining/penapisan pada titik sebelum ada kemungkinan untuk mendeteksi penyakit (CP1), maka tidak akan mengurangi dampak akibat kanker karena pengobatan dini tidak berpengaruh terhadap perjalanan penyakit atau outcome penyakit; bisa menyebabkan kematian atau kecacatan(1). Sebaliknya jika skirining dilakukan setelah diagnosis klinis (CP3), maka seharusnya pengobatan akan jauh lebih efektif dibandingkan melakukan skrining/penapisan pada fase ini. Waktu ideal dilakukannya skrining/penapisan adalah pada titik antara kemungkinan deteksi awal dengan diagnosis klinis (CP2). Jika skrining/penapisan dilakukan pada fase ini maka kemungkinan akan berpengaruh terhadap perjalanan penyakit dan meningkatkan kualitas hidup penderita(1).

Contoh 1
Skrining Penapisan Pada Kanker Leher Rahim



Salah satu contoh pelaksanaan Skrining/penapisan adalah Skrining/penapisan Kanker Leher Rahim. Kanker leher rahim adalah keganasan dari leher rahim (serviks) yang disebabkan oleh virus HPV (Human Papiloma Virus). Diseluruh dunia, penyakit ini merupakan jenis kanker ke dua terbanyak yang diderita perempuan. Saat ini di seluruh dunia diperkirakan lebih dari 1 juta perempuan menderita kanker leher rahim1 dan 3-7 juta orang perempuan memiliki lesi prekanker derajat tinggi (high grade dysplasia). Penelitian WHO tahun 2005 menyebutkan, terdapat lebih dari 500.000 kasus baru, dan 260.000 kasus kematian akibat kanker leher rahim, 90% diantaranya terjadi di negara berkembang. Angka insidens tertinggi ditemukan di negara-negara Amerika bagian tengah dan selatan, Afrika timur, Asia selatan, Asia tenggara dan Melanesia. 
Praktek standar untuk menskrining/penapisan wanita yang menggunakan sitologi (Pap Smear), dan ketika hasil sitologi positif diagnosis Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) didasarkan pada pemeriksaan koloskopi selanjutnya, biopsi lesi yang mencurigakan, dan kemudian pengobatan hanya saat CIN2 + telah dikonfirmasi secara histologi. Metode skrining/penapisan tradisional ini membutuhkan sumber daya manusia yang sangat terlatih dan peralatan laboratorium dalam jumlah yang besar. 
Tujuan dari program “skrining/penapisan dan pengobatan” kanker serviks adalah untuk mengurangi kejadian kanker serviks dan kematian. Program ini harus mencakup tes skrining/penapisan atau strategi ( urutan tes ) dan dihubungkan dengan pengobatan yang sesuai untuk CIN, dan juga menyediakan rujukan untuk pengobatan wanita dengan kanker serviks invasif. Tes skrining/penapisan umum yang banyak digunakan termasuk tes untuk human papilloma virus ( HPV), sitologi ( tes Papsmear ), dan inspeksi visual dengan asam asetat (VIA).

Contoh 2
Skrining/Penapisan Penyalahgunaan Alkohol, Merokok dan NAPZA (The ASSIST Project - Alcohol, Smoking, and Substances Involvement Screening Test)



Skrining/penapisan ASSIST dikembangkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk mengidentifikasi penyalahgunaan napza, alkohol dam merokok. Kuesioner dari skrining/penapisan ASSIT berisi 8 pertanyaan digunakan untuk menginvestigasi 10 unsur utama zat adiktif. Kuesioner juga dilengkapin tabel yang bisa diisi sesuai dengan rekaman medis pasien. Intervensi singkat para praktisi kesehatan kepada masyarakat yang mengikuti skrining/penapisan dilakukan berupa motivasi, dan promosi kesehatan dilakukan kepada kelompok yang beresiko mengkonsumsi alkohol, merokok dan mengkonsumsi zat napza lainnya(7). 

DEFINISI SKRINING (PENAPISAN)

Skrining/penapisan merupakan proses pendeteksian kasus/kondisi kesehatan pada populasi sehat pada kelompok tertentu sesuai dengan jenis penyakit yang akan dideteksi dini dengan upaya meningkatkan kesadaran pencegahan dan diagnosis dini bagi kelompok yang termasuk resiko tinggi. Pada negara maju, umumnya proses skrining/penapisan dilakukan pada penyakit tidak menular, misalnya kanker payudara yang dilakukan pada kelompok beresiko seperti wanita terlahir kembar, ada genetik keluarga, wanita yang tidak menikah, wanita yang tidak menyusui (red ngASI) anaknya dan pola diet dan gaya hidup yang tidak sehat, wanita pengguna KB hormonal, wanita yang menstruasi pertama dibawah 12 tahun dan menopause diatas 55 tahun. Berikut dijelaskan definisi skrining/penapisan menurut beberapa ahli Epidemiologi.
Menurut Webb (2005), skrining/penapisan merupakan metode test sederhana yang digunakan secara luas pada populasi sehat atau populasi yang tanpa gejala penyakit (asimptomatik). Skrining/penapisan tidak dilakukan untuk mendiagnosa kehadiran suatu penyakit, tetapi untuk memisahkan populasi subjek skrining/penapisan menjadi dua kelompok yaitu orang-orang yang lebih beresiko menderita penyakit tersebut dan orang-orang yang cenderung kurang beresiko terhadap penyakit tertentu. Mereka yang mungkin memiliki penyakit (yaitu, mereka yang hasilnya positif) dapat menjalani pemeriksaan diagnostik lebih lanjut dan melakukan pengobatan jika diperlukan. (1)
Menurut Komisi Penyakit Kronis AS (1951) dalam kamus Epidemiologi (A Dictionary of Epidemiology), skrining/penapisan didefinisikan sebagai "identifikasi dugaan penyakit atau kecacatan yang belum dikenali dengan menerapkan pengujian, pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat diterapkan dengan cepat. Tes skrining/penapisan memilah/memisahkan orang-orang yang terlihat sehat untuk dikelompokkan menjadi kelompok orang yang mungkin memiliki penyakit dan kelompok orang yang mungkin sehat. Sebuah tes skrining/penapisan ini tidak dimaksudkan untuk menjadi upaya diagnosa. Orang dengan temuan positif menurut hasil skrining/penapisan atau suspek suatu kasus harus dirujuk ke dokter untuk diagnosis dan menjalani pengobatan yang diperlukan (3).
Skrining/penapisan juga merupakan pemeriksaan untuk membantu mendiagnosa penyakit (atau kondisi prekursor penyakit) dalam fase awal riwayat alamiah atau di ujung kondisi yang belum parah dari spektrum dibanding yang dicapai dalam praktek klinis rutin. (4). Sedangkan menurut Bonita et.al (2006), skrining/penapisan adalah proses menggunakan tes dalam skala besar untuk mengidentifikasi adanya penyakit pada orang sehat. Tes skrining/penapisan biasanya tidak menegakkan diagnosis, melainkan untuk mengidentifikasi faktor resiko pada individu, sehingga bisa menentukan apakah individu membutuhkan tindak lanjut dan pengobatan. Untuk yang terdeteksi sebagai individu yang sehat pun, bukan berarti terbebas 100% dari suatu penyakit karena tes skrining/penapisan dapat salah.(5)
Inisiatif untuk skrining/penapisan biasanya berasal dari peneliti atau orang atau badan kesehatan dan bukan dari keluhan pasien. Skrining/penapisan biasanya berkaitan dengan penyakit kronis dan bertujuan untuk mendeteksi penyakit yang belum umum dalam pelayanan medis. Skrining/penapisan dapat mengidentifikasi faktor - faktor risiko, faktor genetik, dan pencetus, atau indikasi suatu penyakit(3)

PRINSIP DALAM SKRINING (PENAPISAN)


Untuk menghasilkan program skrining/penapisan yang bermanfaat bagi masyarakat luas, harus ada kriteria tertentu dalam memilih penyakit apa yang akan diskrining/penapisan. Berikut beberapa katrakteristik penyakit yang harus dipertimbangkan dalam memutuskan kebijkan skrining/penapisan. (1, 11).
  1. Jenis penyakit harus termasuk jenis penyakit yang parah, yang relatif umum dan dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat oleh masyarakat. Pada umumnya memiliki prevalensi yang tinggi pada tahap pra-klinis. Hal ini berkaitan dengan biaya relatif dari program skrining/penapisan dan dalam kaitannya dengan jumlah kasus yang terdeteksi serta nilai prediksi positif. Pengeluaran yang harus dikeluarkan untuk kegiatan skrining/penapisan harus selaras dengan mengurangi angka morbiditas dan mortalitas. Namun kriteria ini menjadi tidak berlaku pada kasus tertentu seperti keganasan/keparahan dari suatu penyakit. Contohnya skrining/penapisan Fenilketouria atau Phenylketouria (PKU) pada bayi baru lahir. Fenilketouria adalah gangguan desakan autosomal genetik yang dikenali dengan kurangnya enzim fenilalanin hidroksilase (PAH). Enzim ini sangat penting dalam mengubah asam amino fenilalanina menjadi asam amino tirosina. Jika penderita mengkonsumsi sumber protein yang mengandung asam amino ini, produk akhirnya akan terakumulasi di otak, yang mengakibatkan retardasi mental. Meskipun hanya satu dari 15.000 bayi yang terlahir dengan kondisi ini, karena faktor kemudahan, murah dan akurat maka skrining/penapisan ini sangat bermanfaat untuk dilakukan kepada setiap bayi yang baru lahir.
  2. Skrining/penapisan harus aman dan dapat diterima oleh masyarakat luas. Dalam proses skrining/penapisan membutuhkan partisipasi dari masyarakat yang dinilai cocok untuk menjalani pemeriksaan. Oleh karena itu skrining/penapisan harus aman dan tidak mempengaruhi kesehatannya.
  3. Skrining/penapisan harus akurat dan reliable. Tingkat akurasi menggambarkan sejauh mana hasil tes sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dari kondisi kesehatan/penyakit yang diukur. Sedangkan reliabilitas biasanya berhubungan salah satu dengan standardisasi atau kalibrasi peralatan pengujian atau keterampilan dan keahlian dari orang-orang menginterpretasikan hasil tes.
  4. Harus mengerti riwayat alamiah penyakit dengan baik dan percaya bahwa dengan melakukan skrining/penapisan maka akan menghasilkan kondisi kesehatan yang jauh lebih baik. Misalnya pada Kanker Prostat, secara biologis penderita kanker tidak bisa dibedakan, namun kemungkinan banyak pria yang kanker bisa terdeteksi oleh pemeriksaan ini (PSA Test). Meskipun demiikian, skrining/penapisan kanker prostat juga berbahaya sehingga umumnya skrining/penapisan ini tidak dianjurkan, meskipun dapat digunakan.
  5. Skrining/penapisan akan sangat bermanfaat jika dilakukan pada saat yang tepat. Periode antara kemungkinan diagnosis awal dapat dilakukan dan periode kemunculan gejala merupakan waktu yang sangat tepat (lead time). Namun jika penyakit berkembang dengan cepat dari tahap pra-klinis ke tahap klinis maka intervensi awal kurang begitu manfaat, dan akan jauh lebih sulit untuk mengobati penyakit tersebut.
  6. Kebijakan, prosedur dan tingkatan uji harus ditentukan untuk menentukan siapa yang harus dirujuk untuk pemeriksaan, diagnosis dan tindakan lebih lanjut.
Sistem pelayanan kesehatan dapat mengatasi banyaknya diagnosis dan pengobatan tambahan karena menemukan penyakit yang umum yang positif palsu. Sebelum memulai program skrining/penapisan sangat penting untuk menilai infrastruktur yang dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaannya. Fasilitas-fasilitas tersebut tentu dibutuhkan untuk proses skrining/penapisan tapi, sama pentingnya juga untuk konfirmasi lanjutan mengenai pengujian dan diagnosis, pengobatan dan tindak lanjut bagi yang positif. Perkiraan (Nilai Prediktif) sangat dibutuhkan dalam sebagai kemungkinan pengambilan skrining/penapisan, jumlah total yang hasilnya positif (termasuk positif palsu), tersangka (berdasarkan prevalens penyakit dan sensitivitas serta spesifisitas hasil pemeriksaan) dan kemungkinan dampak yang dihasilkan berupa peningkatan permintaan pelayanan medis.(1)

Pencegahan selalu lebih baik dari pada pengobatan, karena bisa meningkatkan produktivitas ketika dalam kondisi sehat. Namun, kebanyakan manusia mengetahui kondisi kesehatannya terganggu pada waktu yang terlambat. Sebagai contoh penyakit yang manifestasinya lama tetapi bisa diketahui sejak dini adalah kanker payudara. Kanker payudara bisa dideteksi secara dini, misalnya dengan mengetahui faktor keturunan (genetik), adanya benjolan yang bisa dilakukan sendiri (SADARI) ataupun melakukan pemeriksaaan mamografi. Walaupun payudara akan terpapar dengan radiasi dalam jumlah kecil, namun manfaat dari pemeriksaan mamografi lebih besar karena mengetahui adanya kemungkinan gangguan payudara sejak dini, akan mempercepat tindakan pengobatan, sehingga kemoterapi atau prosedur pengangkatan payudara (mastectomy) dapat dihindari.

Setiap penyakit atau kondisi kesehatan memiliki manifestasi gejala tertentu baik penyakit menular maupun tidak menular. Gejala ini terkadang tidak hanya bersifat spesifik bagi satu penyakit tetapi juga spesifik untuk beberapa penyakit lainnya. Gejala penyakit bisa berupa keluhan subjektif yang dirasakan seperti pusing, mual, rasa tidak enak di perut dan juga gejala yang simptomatik seperti badan panas, ruam-ruam di kulit, adanya benjolan dan sebagainya. Oleh karena adanya dua tipe manifestasi klinis inilah, skrining/penapisan harus dilakukan.

Terdapat perdebatan di berbagai negara mengenai pelaksanaan deteksi dini pada penyakit. Satu pihak menyatakan bahwa fokus deteksi dini merupakan populasi oportunistik dan yang lainnya menganggap lebih baik fokus pada populasi yang lebih luas. Ada beberapa persamaan diantara populasi luas (massa) dengan pendekatan berisiko tinggi (high risk) untuk pencegahan primer, meskipun tidak persis sama (1). Kata 'Skrining/penapisan' dan 'penemuan kasus' juga memiliki arti yang sedikit berbeda. Istilah 'skrining/penapisan' digunakan untuk deteksi dini dengan pendekatan populasi yang luas (population-wide approaches) dan 'penemuan kasus' untuk deteksi dini dengan pendekatan populasi oportunistik (opportunistic attempt approaches) (1).Meskipun skrining/penapisan ditujukan pada populasi luas, bukan berarti semua jenis populasi masuk ke dalam populasi skrining/penapisan. Kriteria populasi skrining/penapisan menyesuaikan dengan faktor resiko dari jenis penyakit yang akan diskrining/penapisan. contohnya tidak akan melakukan skrining/penapisan Kanker Leher Rahim (Ca-cervics) pada populasi anak-anak, atau melakukan skrining/penapisan kanker prostat pada populasi wanita. Menurut Marchand, et.al (1998) dalam pembahasan jurnalnya mengenai perbandingan efektivitas biaya antara skrining/penapisan dan penemuan kasus TBC, skrining/penapisan lebih efektif dibandingkan dengan penemuan kasus di fasilitas kesehatan dengan asumsi tidak terjadi infeksi nosokomial disana.(2)