Secara umum, studi observasi terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu studi deskriptif dan studi analitik. Studi deskriptif umumnya paling sering digunakan untuk menggambarkan pola penyakit dan dan untuk mengukur kejadian dari faktor risiko untuk penyakit (pajanan) pada satu populasi. Sedangkan jika kita ingin mengetahui asosiasi antara kejadian penyakit dan faktor risikonya, maka studi analitik dilakukan. Ada beberapa tipe studi observasional secara umum, antara lain:[1, 2]
Studi deskriptif merupakan langkah awal dalam melakukan investigasi epidemiologi. Studi ini menjawab pertanyaan berkaitan dengan aspek epidemiologi yang meliputi ‘orang, tempat dan waktu ’ dan aspek ini dipergunakan untuk menjawab pertanyaan ‘ siapa?, apa?, dimana? dan ketika?’. Termasuk sebagai studi deskriptif adalah survey prevalensi, studi migrant dan seri penyakit (case series) [1, 2]. Survey prevalensi dilakukan untuk menggambarkan kondisi kesehatan suatu populasi atau faktor resiko kesehatan, misalnya Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di Indonesia, dilakukan secara rutin setiap dua-tiga tahun sekali, untuk melihat kondisi kesehatan masyarakat di Indonesia dan berguna untuk melakukan perencanaan kesehatan.
Studi migrant dilakukan jika kita ingin melihat perbedaan kondisi kesehatan atau penyakit pada masyarakat berbeda etnik, suku dan negara. Studi ini juga melihat perubahan pola penyakit pada etnik yang berbeda jika mereka bermigrasi ke negara lainnya. Misal, etnik Jawa yang tinggal di Indonesia akan memiliki pola penyakit berbeda dengan etnik Jawa yang telah lama tinggal di Australia. Ataupun perbedaan pola penyakit etnik Jepang yang tinggal di Jepang dan etnik Jepang yang telah lama bermigrasi ke Amerika. Sedangkan, case series (studi kasus berturut-turut) dilakukan jika kita ingin melihat karakteristik suatu penyakit yang terjadi di suatu populasi. Misal, kejadian Flu Burung pada manusia di Indonesia. Kita bisa mempelajari karakteristik pasien Flu Burung di Rumah Sakit X di Indonesia dengan memperhatikan perbedaan karakteristik pasien, gejala umum dan spesifik Flu Burung pada beberapa pasien yang positif ataupun terduga (suspect) menderita Flu Burung.
Ketika kita akan menggali pertanyaan ‘kenapa’, kita perlu melakukan studi analitik untuk menjawab pertanyaan tersebut. Studi Analitik merupakan studi yang menganalisa hubungan antara status kesehatan dan variabel lainnya[1, 2]. Sebagai contoh, penelitian Najmah dkk [3], melakukan investigasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku penggunaan alat dan jarum suntik tidak steril pada pengguna napza suntik. Selain melakukan studi deskriptif sebagai langkah Epidemiologi awal, peneliti menggambarkan karakterikstik penasun di Kota Palembang, peneliti melakukan studi analitik juga untuk mengetahui, hubungan antara faktor karakteristik penasun dan variabel lainnya (lama menggunakan napza suntik, pengetahuan tentang har m reduction dan HIV, sikap terhadap harm reduction dsb) terhadap perilaku penggunaan jarum dan alat suntik steril. Peneliti melakukan studi analitik dengan menganalisa hubungan antara karakteristik penasun, dan variabel lainnya terhadap perilaku penasun tersebut.
Studi lainnya, misalnya kejadian patah tulang pinggul pada wanita lansia di Indonesia, ketika kita melakukan studi deskriptif apa yang bisa kita investigasi? Kita bisa investigasi beberapa pertanyaan seperti:
- Gambaran dimensi-dimensi tulang pinggul lansia berdasarkan hasil X-Ray, seperti kepadatan tulang, diameter endokortikal, lebar leher femur, dan dimensi lainnya
- Prevalensi patah tulang pinggul pada wanita lansia pada desa dan kota di 10 Provinsi terbesar di Indonesia
- Trend kejadian patah tulang pinggul pada wanita lansia dari tahun 2005-2014 di Indonesia
- Proporsi konsumsi vitamin D, kalsium dan penggunaan hormon steroid pada wanita lansia
- Gambaran kebiasaan aktifitas fisik wanita lansia di Indonesia
Bagaimana studi analitik? Kita bisa menghubungkan beberapa variabel, misalnya:
- Identifikasi perbedaan umur dan kepadatan tulang pada wanita lansia
- Analisa hubungan konsumsi kalsium dan vitamin D terhadap kejadian patah tulang pinggul
- Identifikasi hubungan antara aktifitas fisik dan pencegahan patah tulang pinggul pada wanita lansia dan sebagainya.
Langkah-langkah dalam menentukan tipe desain studi observasional dalam epidemiologi[1, 2], pelajari kembali STUDI KASUS 1
Tahap pertama: tentukan variabel dependen dan variabel independennya. Dalam studi ini, dapat kita pelajari bahwa variabel independennya adalah Program Terapi Rumatan Metadon sedangkan variabel dependennya adalah angka kesakitan atau kematian akibat HIV/AIDS dan penyakit yang ditularkan melalui darah lainnya dan overdosis narkoba
Tahap kedua: tentukan studi desain yang tepat untuk mengetahui efektivitas PTRM. Secara garis besar, studi desain observasional ada 3 jenis:Potong Lintang (Cross sectional), Kohort (Cohort), dan Kasus Kontrol (Case-control). Perbedaan secara umum terletak pada faktor paparan (exposure factors) dan kejadian penyakit (disease). Studi desain potong lintang, faktor paparan dan kejadian penyakit terjadi pada masa sekarang secara bersamaan (in the present); studi desain kasus-kontrol, faktor paparan terjadi dimasa lalu dan kejadian penyakit terjadi pada masa sekarang; sedangkan desain kohort, faktor paparan terjadi dimasa sekarang, lalu diselidiki hingga kejadian penyakit apakah akan terjadi di masa depan.
Studi lainnya, studi ekologi jarang digunakan untuk membuktikan uji hipotesa sebab akibat tetapi sering menjadi dasar untuk mengembangkan hipotesa. Studi ini mudah dilakukan jika data rutin siap tersedia, tapi hasil studi ekologi sulit untuk interpretasikan. Perbedaan angka kesakitan atau kematian pada beberapa populasi yang dibandingkan sangat besar dipengaruhi oleh faktor paparan lainnya, dengan kata lain faktor perancu dalam studi ekologi sangatlah tinggi[2].
Desain Potong lintang (Cross Sectional)
Bila kita memiliki keterbatasan dana, waktu dan tenaga, alternatif desain yang sederhana adalah desain potong lintang. Desain potong lintang dikenal juga dengan istilah survey. Kunci utama dalam desain potong lintang adalah sampel dalam suatu survey direkrut tidak berdasarkan status paparan atau suatu penyakit/ kondisi kesehatan lainnya, tetapi individu yang dipilih menjadi subjek dalam penelitian adalah mereka yang diasumsikan sesuai dengan studi yang akan kita teliti dan mewakili populasi yang akan diteliti secara potong lintang sehingga hasil studi bisa digeneralisasikan ke populasi. Oleh karena itu, faktor paparan dan kejadian penyakit/kondisi kesehatan diteliti dalam satu waktu.[2]
Dalam studi kasus 1, kita mengamati pengguna narkoba suntik tanpa membedakan mereka akses atau tidak akses PTRM atau status mereka dari HIV/AIDS atau overdosis narkoba. Sampel kita semua pengguna narkoba lalu kita telusuri apakah mereka akses PTRM dan pernah overdosis atau sebaliknya. Perhitungan yang bisa dihitung angka prevalensi dan rasio prevalensi. Kita mengumpulkan data dalam satu waktu dengan target sampel adalah pengguna narkoba suntik di suatu daerah atau Provinsi (lihat gambar 5)
Banyak sekali survey, studi deskriptif yang dilakukan di Indonesia. Contoh penelitian yang menggunakan desain ini adalah Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilaksanakan Kementrian Kesehatan Indonesia, surveilans terpadu biologis dan perilaku (STBP) pada kelompok resiko tinggi HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya, Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). Jika kita ingin menganalisa lebih lanjut dengan menghubungkan beberapa variabel yang ada pada survey diatas, misalnya hubungan antara pengetahuan ibu tentang HIV/AIDS terhadap sikap ibu kepada ODHA, data pada Riskesdas maka kita lakukan studi potong lintang dan bisa menghitung rasio prevalensi atau asosiasi yang kita inginkan.
Kelemahan studi desain potong lintang, antara lain:
- Keterbatasan dimensi dari interpretasi sebab akibat, yang kita kenal dengan istilah fenomena ayam dan telur (chicken and egg), kita kurang mengetahui apakah sebab atau akibat duluan dari suatu kondisi kesehatan atau penyakit.
- Desain ini tidak efisien untuk faktor paparan atau penyakit (outcome) yang jarang terjadi. Untuk pengolahan data analitik, kita membutuhkan faktor paparan dan penyakit dengan jumlah yang cukup sehingga peneliti bisa melakukan analisa asosiasi lebih lanjut.
- Kasus prevalensi kemungkinan tidak mewakili semua populasi jika angka rata –rata respons (response rate) yang bersedia mengikuti survey tidak mencapai target yang ditentukan.
Adapun kelebihan dari desain potong lintang adalah:
- Mengukur angka prevalensi, bukan angka insidens
- Sampel dalam studi dapat mewakili populasi dengan teknik sampling
- Metode dan desain serta definisi penelitian bisa distandardisasi, reliable dan single blind sehingga survey berulang dapat dilakukan untuk mengetahui trend penyakit atau kondisi kesehatan dan kebutuhan pelayanan kesehatan suatu negara dalam kurun waktu tertentu.
- Sumber daya dan dana yang efisien karena pengukuran dilakukan dalam satu waktu
- Kerjasama penelitian (response rate) dengan desain ini umumnya tinggi.
Desain Kasus Kontrol
Ketika kita bisa membedakan status responden sebagai kelompok yang menderita suatu penyakit atau suatu kondisi kesehatan dan status responden yang sehat atau memiliki penyakit lainnya, maka kita bisa melakukan penelitian dengan kasus kontrol atau case control. Ada dua kelompok partisipan yang akan direkrut dalam penelitian dengan studi ini, kelompok kasus dan kelompok kontrol. Partisipan di kelompok kasus pada sumber populasi didefinisikan sebagai semua orang yang akan datang ke pusat layanan kesehatan, baik Klinik, Puskesmas maupun Rumah Sakit dan datanya akan disimpan dalam rekam medis jika mereka menderita penyakit yang akan diteliti. Permasalahan yang sering muncul, pusat layanan kesehatan umumnya melayani masyarakat yang berbeda penyakitnya sehingga pola rujukan dan reputasi pusat layanan kesehatan sangat menentukan perekrutan kelompok kasus yang optimal [5].
Sedangkan, partisipan pada kelompok kontrol, dapat dipilih dengan beberapa cara, antara lain[5]:
- Kontrol dari Populasi (Population controls): kelompok kontrol diambil langsung dari populasi, umumnya dilakukan jika ada data registrasi populasi, atau kelompok tertentu. Hal ini biasanya dilakukan di negara maju yang memiliki data registrasi yang komprehensif sehingga bisa dilakukan melalui telepon, dan melalui surat/pos.
- Kontrol dari tetangga(Neighbourhood controls): kelompok kontrol diambil dari sekitar kelompok kasus yang ada, misal lebih kurang 10 meter tinggal di sekitar kasus. Misal, satu kasus yang melakukan bunuh diri, kelompok kontrol dipilih dari tetangga yang tidak melakukan bunuh diri.
- Kontrol dari Klinik atau Rumah Sakit (Hospital or clinic based controls): kelompok kontrol dipilih pada pusat layanan kesehatan yang sama dengan kelompok kasus direkrut, tetapi memiliki penyakit yang berbeda dan penyakitnya tidak berhubungan dengan faktor paparan pada kelompok kasus, misal kelompok kasus adalah pasien Kanker Paru, kelompok kontrol bisa dipilih dari pasien yang menderita gangguan pencernaan, sangat dihindari memilih kelompok kontrol yang juga merokok karena berhubungan dengan kanker paru.
- Kontrol dari orang yang telah meninggal (Dead people): kelompok kontrol direkrut dari responden yang telah meninggal karena penyakit lain dari kelompok kasus, umumnya kita menggunakan proxy atau perwakilan kelompok kontrol yang bisa kita wawancarai sama seperti menginvestigasi informasi dari keluargakelompok kasus yang telah meninggal.
Mari kita aplikasikan studi kasus 1 dengan studi desain kasus kontrol, penulis telah membuat alur penelitian dengan desain kasus kontrol dibawah ini, coba jelaskan bagaimana penelitian ini bisa dilakukan dengan desain ini. Silahkan coba anda jelaskan alur diatas, Apa yang kita mulai, dari mana kita memulai dan apa yang kita telusuri ke belakang??
Untuk memahami desain ini, kita lanjutkan pada studi kasus 2.
“Peneliti ingin mengetahui apakah status gizi ibu mempengaruhi kejadian BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) di Sumatera Selatan.Karena kejadian BBLR tidak terlalu sering terjadi, maka peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian dengan desain kasus kontrol”.Apa yang harus kita pahami dalam studi kasus 2 ini?
Pertama, peneliti menentukan kriteria kelompok kontrol dan kasus. Untuk kelompok kontrol, peneliti memberi kriteria yaitu ibu yang melahirkan anak yang tidak BBLR (>=2500 gram), sedangkan untuk kelompok kasus, kriteria inklusinya adalah ibu yang melahirkan anak yang BBLR. Peneliti ingin mengetahui hubungan status gizi ibu dengan resiko terjadinya BBLR. Lalu peneliti menanyakan pertanyaan berkaitan dengan status gizi(dengan kategori status gizi ibu baik dan status ibu gizi kurang) dan resiko BBLR kepada ibu-ibu yang baru saja melahirkan anaknya di beberapa Rumah Sakit dan Klinik Bersalin di Sumatera Selatan. Coba perhatikan alur desain penelitian kasus kontrol dbawah ini, dan coba buat alur yang sama untuk studi kasus BBLR.
Silahkan gambar alur penelitian studi kasus 2 Status gizi Ibu dan kejadian BBLR dengan studi desain kasus kontrol berdasarkan gambar 8.
Berdasarkan dua studi kasus sebelumnya, mari kita simpulkan kelemahan dan kelebihan penelitian dengan menggunakan studi desain kasus kontrol. Kelemahan penelitian dengan studi desain kasus kontrol adalah, [5],
- Hanya bisa menginvestigasi satu outcome atau satu kondisi kesehatan/penyakit, karena kita mulai dari satu kondisi kesehatan dan kita kilas balik ke belakang banyak paparan yang mungkin telah terjadi.
- Tidak bisa menghitung angka insiden atau ukuran asosiasi absolut lainnya. Kasus dipilih dari populasi sumber yang memiliki outcome, sedangkan kelompok kontrol merupakan estimasi distribusi faktor paparan dari populasi sumber, sehingga hasil perhitungan yang kita dapatkan adalah Odds Rasio (OR). Walaupun asosiasi bisa ditegakkan dengan perhitungan Odds rasio, tetapi tidak bisa menghitung resiko absolut (abosulute risk) karena angka insidens tidak diketahui
- Bias seleksi. Tidak mudah untuk memilih responden pada kelompok kontrol, karena responden sebisa mungkin tidak terpapar dari faktor resiko yang merupakan penyebab dari penyakit pada kelompok kasus, karena kemungkinan kelompok kontrol bisa menderita sakit yang sama seperti kelompok kasus, tetapi masih tahap tanpa gejala (asymptomatic group) dengan faktor resiko tersebut. Sehingga kemungkinan terjadinya bias seleksi sangat besar. Misal, untuk mengetahui hubungan antara kasus kanker paru-paru dan merokok. Untuk pemilihan kasus kontrol, peneliti harus semaksimal mungkin untuk memilih kelompok ini pada pasien penyakit selain kasus kanker, yang tidak terpapar dengan rokok, misal penyakit mag, pasien katarak yang bukan perokok dsb.
- Bias Informasi. Seperti kita pahami, bahwa informasi yang kita akan dapatkan tergantung daya ingat responden. Rekam medis dapat meminimalisir bias informasi, tetapi tidak semua faktor resiko/paparan terdokumentasi pada rekam medis. Oleh karena itu, kemungkinan bias pada informasi tinggi, terutama untuk kelompok kontrol. Kelompok kasus akan cenderung lebih mengingat faktor resiko yang dia alami daripada kelompok kontrol. Seperti contoh diatas, ibu dengan anak BBLR, umumnya daya ingat akan faktor paparan yang dia alami, memorinya akan lebih tinggi daripada ibu yang melahirkan bayi normal, misalnya status merokok, status gizi, periksa kehamilan dan sebagainya.
Untuk kelebihanya, tentu saja desain ini sangat tepat sekali pada kasus yang jarang terjadi di masyarakat, seperti kasus kanker, HIV/AIDS, sehingga kita bisa mengetahui faktor risiko suatu kondisi kesehatan dengan metode retrospektif dengan cepat, responden ditanya tentang faktor paparan yang telah terjadi pada periode tertentu di masa lampau hingga terjadinya penyakit. Kemudian, desain ini bisa dilakukan pada jumlah sampel terbatas dan bisa mengeksplorasi banyak faktor paparan dimasa lampau pada satu outcome. Odds rasio nilainya mendekati risk rasio (risk ratio), terutama pada kasus yang jarang terjadi. Nilai odds rasio merupakan rata-rata, karena kelompok kasus dan kontrol seharusnya mewakili populasi dengan memperhatikan paparan [5].
Desain Kohort
Ketika peneliti mempunyai waktu, tenaga dan pendanaan yang cukup dan telah banyak penelitian sebelumnya melakukan penelitian dengan desain potong lintang dan kasus-kontrol, maka pilihan selanjutnya adalah desain kohort. Kelebihan studi kohort adalah kita bisa menilai kausalitas karena faktor paparan terjadi sebelum responden sakit, sehingga adanya tingkat alur jelas antara faktor paparan kemudian baru terjadi sakit. Oleh karena itu, tingkat bias bisa diminimalisir terutama bias informasi, karena responden diikuti oleh peneliti ke depan (prospektif). Kemudian faktor perancu bisa dikontrol dan memungkinkan beberapa outcome hasil penelitian dapat dihasilkan dalam penelitian ini. Studi ini juga sangat baik untuk faktor paparan yang jarang terjadi dan memungkinkan peneliti menghitung angka insiden (incidence rates).
Kelemahan studi dengan desain kohort adalah memerlukan waktu yang panjang terutama untuk mengetahui efek dari beberapa faktor paparan karena desain ini umumnya untuk menginvestigasi penyakit kronik. Desain ini juga membutuhkan jumlah sampel penelitian dalam cukup besar yang bisa bermanfaat jika adanya banyak sampel yang hilang sepanjang penelitian berlangsung dalam periode tertentu (loss of follow up). Biaya yang dibutuhkan juga tidak murah pada desain ini. Kelemahan lainnya, jika penyakit yang diteliti jarang terjadi baik di group yang terpapar dan group tidak terpapar, sangat sulit sekali mencari responden dalam jumlah yang sangat banyak.
Contoh yang fenomenal adalah Framingham Cohort, yang dilakukan pada lebih dari 5209 responden yang berumur 30-62 tahun di Framingham, Ma, Boston hingga tiga generasi yang dimulai pada tahun 1948 dan diikuti hingga lebih dari 50 tahun kedepan(untuk melihat hasil penelitian dapat diakses di http://www.bmc.org/strokecerebrovascular/research/framinghamstudy.htm).
Sudah lebih dari 1000 publikasi untuk penelitian ini. Contoh beberapa topik yang sudah dieksplorasi selama lebih kurang 50 tahun itu antara lain:
- Faktor risiko vaskular baik yang konvensional maupun baru
- Tindakan longitudinal penyakit subklinis yang dikumpulkan melalui ultrasound seri karotis, echocardiography, tonometry arteri dan CT dan MR pencitraan struktur jantung , arteri pusat dan arterosklerosis koroner.
- Data mengenai perubahan struktural dan fungsional subklinis yang menyertai penuaan otak dikumpulkan melalui MRI otak volumetrik dan pengujian kognitif rinci.
- Data insiden titik akhir klinis stroke, gangguan kognitif ringan tanpa demensia dan demensia klinis ( pembuluh darah dan tipe alzheimer ). Data ini dikumpulkan melalui pemeriksaan dan tindak lanjut oleh ahli saraf studi dan neuropsychologists. Informasi tentang fase klinis setelah onset penyakit juga tersedia.
- Informasi mengenai diet, aktivitas fisik, depresi dan jaringan sosial
- Data alternatif penyebab morbiditas dan mortalitas termasuk kanker, jantung dan penyakit pembuluh darah perifer, tulang, paru-paru dan penyakit ginjal
- Database genetik padat termasuk genom informasi polimorfisme lebar pada 550.000 SNP dan pemetaan lebih dari 50 gen kandidat potensial relevansi kardiovaskular pada lebih dari 9000 orang di 3 generasi
Untuk studi kasus 1, PTRM dan kejadian kematian akibat overdosis atau kesakitan akibat HIV/AIDS, penulis telah membuat alur penelitian dengan desain kohort dibawah ini, coba jelaskan bagaimana penelitian ini bisa dilakukan dengan desain ini !
LATIHAN STUDI DESAIN EPIDEMIOLOGI
- Jelaskan perbedaan studi kohot dan studi potong lintang?
- Berikan beberapa contoh judul penelitian dengan studi desain kasus kontrol?
- Berikan beberapa contoh judul penelitian dengan studi desain kohort?
- Berikan beberapa contoh judul penelitian dengan studi desain potong lintang?
- Jelaskan kelebihan dan kelemahan studi desain kasus kontrol?
- Buatlah mind mapping kesimpulan materi studi desain observasional?
DAFTAR PUSTAKA
- Bonita R, Baeglehole R, Kjellstorm T. Basic of Epidemiology. Switzerland: WHO Press; 2006 [cited. Available from: http://whqlibdoc.who.int/publications/2006/9241547073_eng.pdf. p.39-51
- Webb P, Bain C, Pirozzo S. Essential Epidemiology, An Introduction for Students and Health Professionals. New York: Cambridge University Press; 2005. p. 118-145
- Najmah, Nuralam Fajar, RIco Januar Sitorus. The Effect of Needle and Syringe Program on Injecting Drug Users’ Use of Non-Sterile Syringe and Needle Behaviour in Palembang, South Sumatera Province, Indonesia International Journal of Public Health Research 2011; (Spesial Issue):193-9.
- Najmah, L. Gurrin, M.Henry, J.Pasco. Hip Structure Associated With Hip Fracture in Women: Data from the Geelong Osteoporosis Study (Gos) Data Analysis-Geelong,Australia. International Journal of Public Health Research 2011. 2011(Special Issue):185-92.
- Rothman KJ. Epidemiology, An Introduction. New York: Oxford University Press; 2002. p.57-93
- Richards D, Les Toop, Stephen Chambers, Lynn Fletcher. Response to antibiotivs of women with symptoms of urinary tract infection but negative dipstick urine test results: double blind randomised controlled trial. BMJ. 2008 22 June 2005:1-5.
- Sacher PM, Maria Kolotourou, Paul M. Chadwick, Tim J. Cole, Margaret S. Lawson, Alan Lucas, et al. Randomized Controlled Trial of the MEND Program: A Family-based Community Intervention for Childhood Obesity. Obesity. 2010;18(1):S62-S8.
- Elwood M. Critical Appraisal of Epidemiological Studies and Clinical Trials. New York: Oxford University Press; 2007. p. 19-44
- Dallas E. Study Design in Epidemiology. Melbourne; 2008 Contract No.: Document Number|.