on Rabu, 05 November 2014
Penelitian observasional merupakan penelitian dimana peneliti hanya melakukan observasi, tanpa memberikan intervensi pada variabel yang akan diteliti. Secara garis besar, studi desain observasional ada 3 jenis: potong lintang (cross sectional), kohort (cohort), dan kasus kontrol (case-control). Perbedaan secara umum terletak pada faktor paparan (exposure factors) dan kejadian penyakit (disease). Studi desain potong lintang, faktor paparan dan kejadian penyakit terjadi pada masa sekarang secara bersamaan (in the present); studi desain kasus-kontrol, faktor paparan terjadi dimasa lalu dan kejadian penyakit terjadi pada masa sekarang; sedangkan studi desain kohort, faktor paparan terjadi dimasa sekarang, kemudian diselidiki apakah kejadian penyakit akan terjadi di masa depan(1, 2).


Istilah-Istilah Penting dalam Telaah Kritis Penelitian Observasional Epidemiologi
Dua tipe utama penyebab error dalam studi epidemiologi adalah kesalahan acak (random error) dan kesalahan sistematik (sistematics error). Pada penyusunan sebuah penelitian, seorang ahli Epidemiologi mencoba untuk mengurangi kedua sumber kesalahan tersebut. Ada cara yang sederhana untuk membedakan antara kesalahan acak dan sistematik. Bayangkan bahwa studi yang dilakukan, sampelnya bisa ditingkatkan ukurannya sampai tak terbatas. Ada beberapa tingkat kesalahan yang bisa dikurangi sampai titik maksimal jika sebuah penelitian memiliki sampel yang sangat besar; hal–hal tersebut adalah kesalahan acak atau random error. Jadi, semakin besar jumlah sampel, akan semakin mewakili populasi yang diteliti sehingga kesalahan dalam pemilihan subjek sampel dapat diminimalisir, dengan kata lain 95% derajat kepercayaan akan semakin presisi. Sedangkan kesalahan yang tidak dipengaruhi dengan peningkatan jumlah responden dalam penelitian disebut dengan kesalahan sistematik (systematic error) atau dikenal dengan istilah bias(3).
Bias terdiri dari bias seleksi, bias informasi dan bias recall (mengingat kembali). Sebuah penelitian bisa menjadi bias pada saat memilih subjek–subjek penelitian (bias seleksi) disebabkan kesalahan dalam mengelompokkan responden (kelompok kasus atau kontrol). Bias dapat juga terjadi karena informasi yang salah, atau disebabkan kesalahan mengingat informasi pada kedua kelompok yang berbeda. Cara mengukur variabel pada penelitian, atau faktor perancu yang tidak dikendalikan dengan baik dapat meningkatkan bias pada penelitian(3).

Bias Seleksi
Bias seleksi adalah kesalahan sistematik pada sebuah studi yang berasal dari prosedur-prosedur yang digunakan untuk memilih subjek–subjek dan faktor–faktor yang mempengaruhi keikutsertaan responden dalam penelitian. Bias tersebut terjadi ketika hubungan antara paparan dan penyakit yang membedakan antara orang–orang yang berpartisipasi dengan orang yang tidak berpartisipasi pada sebuah studi. Karena hubungan antara paparan dan penyakit diantara yang tidak berpartisipasi tidak diketahui, keberadaan bias seleksi biasanya diduga dan dapat diobservasi.

Bias seleksi juga bisa timbul dari beberapa pilihan yang dibuat langsung oleh peneliti. Sebagai contoh, banyak penelitian tentang pekerja yang membandingkan laju kematian antara pekerja – pekerja pada pekerjaan khusus terhadap populasi umum. Perbandingan ini menjadi bias karena populasi umum terdiri dari orang yang tidak bisa bekerja dikarenakan sakit. Akibatnya, keseluruhan dari laju kematian dari pekerja sering lebih rendah daripada populasi pada umumnya, dan petunjuk perbandingan dari kedua kelompok tersebut menjadi bias. Bias seleksi ini sering disebut sebagai efek dari pekerja sehat. Sebuah cara untuk mencegah bias tersebut akan menjadi perbandingan pada pekerja dengan pekerjaan khusus dan pekerja dengan pekerjaan lainnya yang membedakan paparan atau hazard dalam pekerjaan mereka. Jika semua subjek terlibat pada perbandingan adalah pekerja, maka peneliti bisa menghindari bias dari efek pekerja sehat.

Bias Informasi
Bias informasi merupakan kesalahan sistematik dalam sebuah penelitian yang bisa muncul karena informasi yang dikumpulkan tentang atau dari subjek penelitian yang salah (tidak tepat). Informasi sering dimaksudkan menjadi salah klasifikasi jika variabel yang diukur pada sebuah kategori yang mutlak dan kesalahan yang mengakibatkan seseorang ditempatkan pada sebuah kategori yang salah. Sebagai contoh, kesalahan klasifikasi jika seorang perokok berat dikategorikan sebagai perokok ringan. Khususnya, dua variabel utama dalam penelitian epidemiologi menghubungkan paparan dan penyakit, bisa menimbulkan asosiasi yang kurang tepat. Salah satu yang termasuk dalam bias informasi adalah bias recall.

Bias recall adalah sebuah kesalahan sistematik dalam responden mengingat dan melaporkan faktor risiko/paparan yang telah dia alami. Responden yang mengalami suatu kondisi kesehatan seperti melahirkan anak yang mengalami down syndrome akan lebih mengingat ataupun sebaliknya tentang obat-obatan yang dia konsumsi selama kehamilannya daripada ibu yang melahirkan anak normal. Klasifikasi yang berbeda–beda karena informasi tentang faktor paparan salah diklasifikasi dengan cara berbeda – beda untuk subjek yang dengan atau tanpa penyakit. Sama halnya dengan kesalahan pengkategorian (differential misclassification) yaitu kesalahan dalam hal follow up responden (biased follow up) dimana orang–orang yang tidak terpapar terdiagnosis penyakit lebih banyak dari pada orang–orang yang terpapar. Sebagai contoh, seorang peneliti menggunakan studi kohort untuk mengukur akibat dari merokok terhadap kejadian penyakit Empisema. Pada penelitian tersebut ingin diketahui kejadian empisema. Terdapat pertanyaan yang menanyakan tentang diagnosis medis (terkait empisema) tetapi tidak dilakukan pemeriksaan untuk memastikan diagnosis tersebut. Diagnosis tersebut (menggunakan kuesioner) mungkin menyatakan terjadinya empisema. Diagnosis yang salah lebih sering terjadi pada perokok daripada bukan perokok. Karena pada perokok, terdapat komplikasi penyakit pernapasan yang menyerupai empisema.

Faktor Perancu
Faktor perancu atau confounding factors adalah distorsi dalam memprediksi hubungan atau asosiasi antara faktor eksposur dan outcome (hasil) sehingga asosiasi sebenarnya tidak tampak atau ditutupi oleh faktor lainnya. Pengaruh faktor perancu bisa memperbesar atau memperkecil hubungan sebenarnya. Jadi, suatu variabel mungkin sebenarnya bisa faktor protektif terhadap suatu kondisi kesehatan atau penyakit, tetapi hasil penelitian menunjukkan variabel tersebut bisa menjadi faktor risiko terhadap suatu kondisi kesehatan atau penyakit atau hubungan. Dalam setiap penelitian, faktor-faktor perancu akan selalu diidentifikasi sehingga dalam pengolahan data, hasil asosiasi yang lebih akurat dapat diperoleh setelah dikontrol oleh faktor perancu[(1, 4). Misal, faktor perancu bisa ditemukan pertama pada umur sebagai faktor perancu terhadap hubungan merokok dan risiko kematian, dan kedua aktifitas fisik mendistorsi hubungan antara asupan energi dan risiko terkena penyakit jantung (lebih jelas lihat di Bab Faktor Perancu).

Pedoman Pelaporan Studi Desain Operasional
Banyak penelitian biomedis adalah observasional. Pelaporan penelitian tersebut sering tidak memadai, yang menghambat penilaian kekuatan dan kelemahan serta generalisasi suatu penelitian. Penguatan pelaporan studi desain observasional pada Epidemiologi atau The Strengthening the Reporting of Observational Studies in Epidemiology (STROBE) merupakan salah satu inisiatif dalam pengembangan rekomendasi tentang apa yang harus disertakan dalam laporan yang akurat dan lengkap dari studi observasional(5).

Tujuan dan penggunaan pernyataan STROBE adalah sebagai daftar poin-poin yang harus dilengkapi dalam pelaporan artikel tiga desain studi utama epidemiologi analitis yaitu kohort, kasus kontrol, dan studi potong lintang. Tujuannya semata-mata untuk memberikan panduan tentang bagaimana melaporkan penelitian observasional dengan baik, tanpa membatasi peneliti dalam melakukan ataupun merancang studinya. Pernyataan STROBE dikembangkan untuk membantu penulis saat penulisan studi observasional analitik, untuk membantu editor dan tim penelaah (reviewer) ketika akan mempertimbangkan penelitian tersebut untuk publikasi, dan untuk membantu pembaca saat mengkritisi atau menilai artikel yang dipublikasi(5).

Pernyataan STROBE adalah sebuah daftar periksa yang terdiri dari 22 item yang dianggap penting untuk pelaporan yang baik dari sebuah studi observasional (Tabel 1). Item ini terdiri dari judul artikel dan abstrak (item 1), pengenalan (item 2 dan 3), metode (item 4-12), hasil (item 13-17), bagian diskusi (item 18-21), dan informasi lainnya (item 22 pada pendanaan). Terdapat delapan belas item yang umum untuk semua desain (cohort, case control, dan cross sectional), sedangkan empat item lainnya (item 6, 12, 14, dan 15) adalah diperuntukkan untuk desain tertentu, dengan versi yang berbeda untuk seluruh atau sebagian dari item tersebut. Untuk beberapa item (ditandai dengan tanda bintang), informasi harus diberikan secara terpisah untuk kasus dan kontrol dalam studi case-control, dan kelompok terpajan pada kohort dan studi cross-sectional. Meskipun disajikan di sini sebagai daftar tunggal, daftar periksa terpisah untuk masing-masing tiga desain studi di situs web Strobe http://www.strobe-statement.org/index.php?id=strobe-publications(5). Berikut pernyataan STROBE daftar item yang harus ditelaah dalam laporan studi observasional.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Webb P, Bain C, Pirozzo S. Essential Epidemiology, An Introduction for Students and Health Professionals. New York: Cambridge University Press; 2005.
  2. Bonita R, Baeglehole R, Kjellstorm T. Basic of Epidemiology. Switzerland: WHO Press; 2006 [cited. Available from: http://whqlibdoc.who.int/publications/2006/9241547073_eng.pdf. 
  3. Rothman KJ. Epidemiology, An Introduction. New York: Oxford University Press; 2002. 
  4. Last JM. A Dictionary of Epidemiology. Edition F, editor. New York: Oxford University Press; 2001.
  5. Vandenbroucke J, P, et al. Strengthening the Reporting of Observational Studies in Epidemiology (STROBE): Explanation and Elaboration. PLoS Medicine. 2007;4(10):1628-54.


Secara garis besar, desain penelitian dalam epidemiologi terbagi menjadi dua group besar; penelitian eksperimen/uji klinis dan penelitian observasional. Pada bab ini, kita akan membahas penelitian eksperimen/uji klinis atau intervensi (intervention trial). Tujuan dari penelitian eksperimen/uji klinis adalah untuk mengukur efek dari suatu intervensi terhadap hasil tertentu yang diprediksi sebelumnya. Desain ini merupakan metode utama untuk menginvestigasi terapi baru. Misal, efek dari obat X dan obat Y terhadap kesembuhan penyakit Z atau efektivitas suatu program kesehatan terhadap peningkatan kesehatan masyarakat. Beberapa contoh penelitian dengan desain eksperimen/uji klinis, seperti;


Istilah Pada Telaah Kritis PenelitianEksperimen/Uji Klinis

Randomisasi
Kelebihan penelitian Eksperimen/Uji Klinis adalah memungkinkan untuk dilakukan randomisasi. Ada perbedaan antara seleksi secara random/acak dan alokasi secara random (random selection versus random allocation). Seleksi secara acak adalah proses randomisasi untuk memilih keikutsertaan subjek dalam penelitian. Alokasi secara acak adalah proses randomisasi untuk menentukan ke dalam kelompok manakah subjek akan diikutsertakan. Yang dimaksud dengan randomisasi pada bab ini adalah alokasi secara random/acak. Dengan teknik randomisasi, peneliti bisa mengalokasikan sampel penelitian ke dalam dua atau lebih kelompok berdasarkan kritieria yang telah ditentukan peneliti lalu diikuti ke depan. Teknik randomisasi bertujuan untuk menciptakan karakteristik antar kelompok hampir sama dan jumlah sampel tiap kelompok seimbang dalam penelitian (4, 5).


Randomisasi urutan sampel (Sequence Generation)
Teknik randomisasi dalam mengurutkan sampel dikenal dengan sequence generation. Metode yang digunakan untuk menghasilkan urutan alokasi acak adalah dengan menggunakan tabel acak (random-number table) atau metode acak pada komputer (a computerized random number generator) . Jenis pengacakan, rincian pembatasan (seperti pemblokiran dan ukuran blok)(5-7). 
Berikut adalah contoh randomisasi: randomisasi blok dengan jumlah subjek per bloknya sebanyak dua (5). Peneliti menetapkan setiap blok terdiri atas dua subjek dan pengobatan terdiri atas obat A dan obat B, maka jenis blok yang mungkin ada dua, yaitu blok AB dan blok BA. Blok ini kemudian diberi kode angka ganjil untuk AB dan genap BA. Kemudian dilakukan randomisasi adalah : 1 (ganjil), 3 (ganjil), 4 (genap) dan 5 (ganjil). Selanjutnya, angka-angka tersebut diganti dengan bloknya yang berturut-turut yaitu : AB, AB, BA, AB. Sebagai hasil akhir, kita sudah mendapatkan hasil randomisasi sebagai berikut.

Sumber:  Sophiyudin, 2012 (5)

Mekanisme Alokasi penyembunyian (Allocation concealment mechanism)
Mekanisme lain yang dapat meningkatkan kualitas suatu hasil penelitian eksperimen/uji klinis adalah metode penyembunyian (concealment). Mekanisme yang digunakan untuk mengimplementasikan urutan alokasi acak (seperti kontainer berurutan nomor), menjelaskan langkah-langkah yang diambil untuk menyembunyikan urutan sampai intervensi dilakukan(7). Hasil randomisasi diletakkan pada amplop yang tertutup sehingga baik kelompok intervensi maupun kontrol tidak mengetahui apakah mereka termasuk kelompok intervensi ataupun non-intervensi. Metode concealment ini berbeda dengan metode randomisasi dan blinding. Randomisasi adalah prosedur untuk menetukan urutan alokasi subjek ke dalam kelompok penelitian. Blinding adalah prosedur untuk menyembunyikan informasi mengenai obat yang diberikan sedangkan concealment adalah prosedur untuk menyembunyikan informasi tentang hasil randomisasi. Concealment dilakukan dengan cara menyembunyikan tabel randomisasi. Metode concealment yang sering digunakan adalah SNOSE (sequentially, numbered, opaque, sealed envelopes) atau menggunakan amplop yang berurutan, bernomor, amplop yang tidak transparan dan tertutup (5, 6).

Penyamaran (Blinding)
Penelitian eksperimen/uji klinis dengan teknik randomisasi akan lebih besar kualitasnya jika dalam pengukurannya dilakukan penyamaran (blinding). Terdapat tiga jenis penyamaran yaitu single blind, double blind, dan triple blind (satu, dua dan tiga penyamaran).. Kita juga bisa melakukan single blind dan triple blind. Pada single blind, salah satu dari subjek penelitian atau peneliti tidak mengetahui ke dalam kelompok mana subjek dialokasikan. Pada double-blind, peneliti maupun responden atau responden dan pengolah data(statistisian) tidak mengetahui status responden apakah termasuk dalam kelompok intervensi atau non-intervensi. Sedangkan pada triple blind, selain subjek dan peneliti, tim monitoring penelitian juga tidak mengetahui ke dalam kelompok mana subjek dialokasikan. Kekuatan desain ini bisa meminimalisir faktor perancu yang dapat menyebabkan bias dalam hasil penelitian(4, 5)

Pelaporan Studi Eksperimen dengan standar yang telah disepakati/CONSORT(Consolidated Standards of Reporting Trials)

Desain eksperimen dikenal sebagai ‘gold standard’ diantara desain penelitan epidemiologi lainnya. Metode eksperimen dianggap bisa menghasilkan penelitian dengan tingkat bias paling rendah sehingga dapat menjadi bukti yang paling tinggi atas efikasi suatu produk atau intervensi kesehatan. Penelitian dengan desain ini jika dirancang, dilakukan dan dilaporkan dengan akurat, dapat menjadi ‘goldstandard’ dalam menentukan kebijakan. Walaupun demikian, desain intervensi juga bisa menghasilkan bias jika metode penelitian tidak akurat. Oleh karena itu, untuk menilai penelitian experimen secara akurat, pembaca membutuhkan informasi yang lengkap dan jelas pada metodologi, gambaran dan informasi penting lainnya pada penelitian yang dilakukan penulis. Oleh karena itu, dikembangkan standar pelaporan penelitian experiment yang terkonsolidasi atau dikenal dengan CONSORT (Consolidated Standards of Reporting Trials) untuk mempermudah dalam pelaporan setiap hasil penelitian experimen dengan metodologi yang dapat meningkatkan kualitas hasil penelitian.(6, 7).

DAFTAR PUSTAKA 
  1. Najmah, Fenny Etrawati, Yeni, Feranita Utama. Pemodelan Kawasan Tanpa Rokok (non-smoking area modeling) pada tingkat rumah tangga di Kabupaten Ogan Ilir- Sumatera Selatan-Indonesia'(Modelling of Non-Smoking Area in Household Level in Ogan Ilir City, South Sumatera, Indonesia). Proposal Hibah Kompetitif Ogan Ilir: BOPTN Universitas Sriwijaya; 2014.
  2. Richards D, Les Toop, Stephen Chambers, Lynn Fletcher. Response to antibiotivs of women with symptoms of urinary tract infection but negative dipstick urine test results: double blind randomised controlled trial. BMJ. 2008 22 June 2005:1-5.
  3. Sacher PM, Maria Kolotourou, Paul M. Chadwick, Tim J. Cole, Margaret S. Lawson, Alan Lucas, et al. Randomized Controlled Trial of the MEND Program: A Family-based Community Intervention for Childhood Obesity. Obesity. 2010;18(1):S62-S8.
  4. Elwood M. Critical Appraisal of Epidemiological Studies and Clinical Trials. New York: Oxford University Press; 2007.
  5. Sophiyudin D. Telaah Kritis pada Penelitian Klinis. 2012.
  6. Douglas G. Altman, DSc; Kenneth F. Schulz, David Moher, Matthias Egger, Frank Davidoff, Diana Elbourne, et al. The Revised CONSORT Statement for Reporting Randomized Trials: Explanation and Elaboration. Annals of Internal Medicine. 2001;134(8):663-94.
  7. Schulz KF, DGA, David Moher. CONSORT 2010 Statement: Updated Guidelines for Reporting Parallel Group Randomised Trials. PLoS Medicine. 2010 March 2010;7(3).




on Kamis, 30 Oktober 2014
Pada desain kohort, kita hanya mengobservasi sehingga kita tidak dapat memberikan intervensi atau faktor paparan secara random pada kelompok paparan dan tidak paparan. Pada pembahasan ini, kita akan membahas penelitian eksperimental atau intervensi (intervention trial). Tujuan dari penelitian eksperimental adalah untuk mengukur efek dari suatu intervensi terhadap hasil tertentu yang diprediksi sebelumnya.Desain ini merupakan metode utama untuk menginvestigasi terapi baru.Misal, efek dari obat X dan obat Y terhadap kesembuhan penyakit Z atau efektivitas suatu program kesehatan terhadap peningkatan kesehatan masyarakat. Beberapa contoh penelitian dengan desain eksperimental, seperti;1) mengukur efektivitas penggunaan antibiotik terhadap perawatan wanita dengan gejala infeksi saluran urin dengan hasil tes urin negatif /negative urine dipstict testing [6], efektivitas program MEND (Mind, Exercise, Nutrition, Do it) terhadap tingkat obesitas pada anak-anak (www.mendcentral.org)[7] dan efektifitas kawasan tanpa rokok (non-smoking area) pada tingkat rumah tangga di Kabupaten Ogan Ilir pada tahun 2014, Sumatera Selatan (Najmah dkk, 2014).(1) 
Kelebihan penelitian eksperimental adalah memungkinkan untuk dilakukan randomisasi dan melakukan penilaian penelitian dengan double-blind. Teknik randomisasi hanya dapat dilakukan pada penelitian intervensi dibandingkan penelitian observasional. Dengan teknik randomisasi, peneliti bisa mengalokasikan sampel penelitian ke dalam dua atau lebih kelompok berdasarkan kritieria yang telah ditentukan peneliti (gambar 1, 2) lalu diikuti ke depan. Teknik randomisasi bertujuan untuk menciptakan karakteristik antar kelompok hampir sama dalam penelitian. Kemudian, desain ini juga memungkinkan peneliti melakukan double-blind, dimana peneliti maupun responden tidak mengetahui status responden apakah termasuk dalam kelompok intervensi atau non-intervensi. Kekuatan desain ini bisa meminimalisir faktor perancu yang dapat menyebabkan bias dalam hasil penelitian.
Kelemahan penelitian eksperimental berkaitan dengan masalah etika, waktu dan masalah pengorganisasian penelitian[8]. Intervensi biasanya berkaitan dengan manusia, dan membutuhkan kerjasama dari responden pada kelompok intervensi/non intervensi, tenaga kesehatan, peneliti, laboran dan sebagainya terkait dengan penelitian, sehingga butuh managemen yang tidak mudah karena melibatkan banyak pihak. Untuk mengurangi isu etika, ketika kita melakukan intervensi baru pada satu kelompok, kelompok lainnya sebaiknya diberikan intervensi standar sehingga masalah etika bisa diminimalisir (bukan plasebo) atau tanpa intervensi pada kelompok kontrol.

Bonita (2006) mengelompokkan studi klinis menjadi beberapa tipe(1), antara lain:

Secara garis besar, desain eksperimental dalam epidemiologi, dibagi menjadi dua kelompok besar; 1) penelitian eksperimen /randomised controlled trial (RCT) dan 2) penelitian eksperimen klaster / cluster randomised controlled trial (Cluster RCT). Eksperimen dengan desain RCT umumnya dilakukan untuk intervensi secara individu seperti percobaan obat baru, efektivitas vaksin sedangkan kluster RCT dilakukan untuk intervensi secara kelompok (cluster) seperti untuk melihat efektivitas promosi dan pelayanan kesehatan.Dalam perhitungan analisa statistik dan perhitungan sampel, korelasi dan jumlah kluster lebih harus diperhitungkan dibandingkan desain RCT yang berasumsi setiap individu itu mandiri. Berikut perbedaaan RCT dan cluster RCT secara umum;[9]
Ringkasan 
Tidak ada studi desain yang sempurna, semua desain saling melengkapi satu sama lain Secara umum, studi observasi terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu studi deskriptif dan studi analitik. Studi deskriptif umumnya paling sering digunakan untuk menggambarkan pola penyakit dan dan untuk mengukur kejadian dari faktor risiko untuk penyakit (pajanan) pada satu populasi. Sedangkan jika kita ingin mengetahui asosiasi antara kejadian penyakit dan faktor risikonya, maka studi analitik dilakukan.
Secara garis besar, studi desain observasional ada 3 jenis:Potong Lintang (Cross sectional), Kohort (Cohort), dan Kasus Kontrol (Case-control). Perbedaan secara umum terletak pada faktor paparan (exposure factors) dan kejadian penyakit (disease). Studi desain potong lintang, faktor paparan dan kejadian penyakit terjadi pada masa sekarang secara bersamaan (in the present); studi desain kasus-kontrol, faktor paparan terjadi dimasa lalu dan kejadian penyakit terjadi pada masa sekarang; sedangkan desain kohort, faktor paparan terjadi dimasa sekarang, lalu diselidiki hingga kejadian penyakit apakah akan terjadi di masa depan.
Pada studi eksperimental bertujuan untuk mengukur efek dari suatu intervensi terhadap hasil tertentu yang diprediksi sebelumnya.Desain ini merupakan metode utama untuk menginvestigasi terapi baru.. Misal, efek dari obat X dan obat Y terhadap kesembuhan penyakit Z atau efektivitas suatu program kesehatan terhadap peningkatan kesehatan masyarakat. Pada studi analitik, yang paling tinggi adalah desain eksperimental, namun tetap saja masalah etik dan pengorganisasian penelitian serta dana yang tinggi selalu menjadi kelemahan pada desain ini. Desain yang termudah adalah potong lintang. Kita melakukan investigasi faktor paparan dan outcome pada satu waktu dan bisa dilakukan pada banyak responden dalam waktu singkat dan sumber daya yang terbatas. Namun, ketika kita ingin mendapatkan hasil studi dengan tingkat bias yang lebih rendah, kita bisa melakukan studi kasus kontrol dan selanjutnya kohort. Semua pemilihan desain, tergantung apa yang tersedia dan kemampuan peneliti. 

LATIHAN STUDI DESAIN EPIDEMIOLOGI
  1. Jelaskan tipe-tipe pada studi desain eksperimental atau uji klinis?
  2. Berikan satu contoh ide penelitian uji klinis/eksperimental, jelaskan studi yang anda gunakan disertai alur?
  3. Jelaskan kelemahan dan kelebihan penelitian dengan studi desain eksperimental, jelaskan dengan contoh?
  4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan teknik randomisasi?
  5. Buatlah mind mapping kesimpulan materi studi desain eksperimental?
DAFTAR PUSTAKA 
  1. Bonita R, Baeglehole R, Kjellstorm T. Basic of Epidemiology. Switzerland: WHO Press; 2006 [cited. Available from: http://whqlibdoc.who.int/publications/2006/9241547073_eng.pdf. p.39-51
  2. Webb P, Bain C, Pirozzo S. Essential Epidemiology, An Introduction for Students and Health Professionals. New York: Cambridge University Press; 2005. p. 118-145
  3. Najmah, Nuralam Fajar, RIco Januar Sitorus. The Effect of Needle and Syringe Program on Injecting Drug Users’ Use of Non-Sterile Syringe and Needle Behaviour in Palembang, South Sumatera Province, Indonesia International Journal of Public Health Research 2011; (Spesial Issue):193-9.
  4. Najmah, L. Gurrin, M.Henry, J.Pasco. Hip Structure Associated With Hip Fracture in Women: Data from the Geelong Osteoporosis Study (Gos) Data Analysis-Geelong,Australia. International Journal of Public Health Research 2011. 2011(Special Issue):185-92.
  5. Rothman KJ. Epidemiology, An Introduction. New York: Oxford University Press; 2002. p.57-93
  6. Richards D, Les Toop, Stephen Chambers, Lynn Fletcher. Response to antibiotivs of women with symptoms of urinary tract infection but negative dipstick urine test results: double blind randomised controlled trial. BMJ. 2008 22 June 2005:1-5.
  7. Sacher PM, Maria Kolotourou, Paul M. Chadwick, Tim J. Cole, Margaret S. Lawson, Alan Lucas, et al. Randomized Controlled Trial of the MEND Program: A Family-based Community Intervention for Childhood Obesity. Obesity. 2010;18(1):S62-S8.
  8. Elwood M. Critical Appraisal of Epidemiological Studies and Clinical Trials. New York: Oxford University Press; 2007. p. 19-44
  9. Dallas E. Study Design in Epidemiology. Melbourne; 2008 Contract No.: Document Number|.
on Rabu, 29 Oktober 2014
Secara umum, studi observasi terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu studi deskriptif dan studi analitik. Studi deskriptif umumnya paling sering digunakan untuk menggambarkan pola penyakit dan dan untuk mengukur kejadian dari faktor risiko untuk penyakit (pajanan) pada satu populasi. Sedangkan jika kita ingin mengetahui asosiasi antara kejadian penyakit dan faktor risikonya, maka studi analitik dilakukan. Ada beberapa tipe studi observasional secara umum, antara lain:[1, 2]


Studi deskriptif merupakan langkah awal dalam melakukan investigasi epidemiologi. Studi ini menjawab pertanyaan berkaitan dengan aspek epidemiologi yang meliputi ‘orang, tempat dan waktu ’ dan aspek ini dipergunakan untuk menjawab pertanyaan ‘ siapa?, apa?, dimana? dan ketika?’. Termasuk sebagai studi deskriptif adalah survey prevalensi, studi migrant dan seri penyakit (case series) [1, 2]. Survey prevalensi dilakukan untuk menggambarkan kondisi kesehatan suatu populasi atau faktor resiko kesehatan, misalnya Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di Indonesia, dilakukan secara rutin setiap dua-tiga tahun sekali, untuk melihat kondisi kesehatan masyarakat di Indonesia dan berguna untuk melakukan perencanaan kesehatan.

Studi migrant dilakukan jika kita ingin melihat perbedaan kondisi kesehatan atau penyakit pada masyarakat berbeda etnik, suku dan negara. Studi ini juga melihat perubahan pola penyakit pada etnik yang berbeda jika mereka bermigrasi ke negara lainnya. Misal, etnik Jawa yang tinggal di Indonesia akan memiliki pola penyakit berbeda dengan etnik Jawa yang telah lama tinggal di Australia. Ataupun perbedaan pola penyakit etnik Jepang yang tinggal di Jepang dan etnik Jepang yang telah lama bermigrasi ke Amerika. Sedangkan, case series (studi kasus berturut-turut) dilakukan jika kita ingin melihat karakteristik suatu penyakit yang terjadi di suatu populasi. Misal, kejadian Flu Burung pada manusia di Indonesia. Kita bisa mempelajari karakteristik pasien Flu Burung di Rumah Sakit X di Indonesia dengan memperhatikan perbedaan karakteristik pasien, gejala umum dan spesifik Flu Burung pada beberapa pasien yang positif ataupun terduga (suspect) menderita Flu Burung.

Ketika kita akan menggali pertanyaan ‘kenapa’, kita perlu melakukan studi analitik untuk menjawab pertanyaan tersebut. Studi Analitik merupakan studi yang menganalisa hubungan antara status kesehatan dan variabel lainnya[1, 2]. Sebagai contoh, penelitian Najmah dkk [3], melakukan investigasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku penggunaan alat dan jarum suntik tidak steril pada pengguna napza suntik. Selain melakukan studi deskriptif sebagai langkah Epidemiologi awal, peneliti menggambarkan karakterikstik penasun di Kota Palembang, peneliti melakukan studi analitik juga untuk mengetahui, hubungan antara faktor karakteristik penasun dan variabel lainnya (lama menggunakan napza suntik, pengetahuan tentang har m reduction dan HIV, sikap terhadap harm reduction dsb) terhadap perilaku penggunaan jarum dan alat suntik steril. Peneliti melakukan studi analitik dengan menganalisa hubungan antara karakteristik penasun, dan variabel lainnya terhadap perilaku penasun tersebut. 

Studi lainnya, misalnya kejadian patah tulang pinggul pada wanita lansia di Indonesia, ketika kita melakukan studi deskriptif apa yang bisa kita investigasi? Kita bisa investigasi beberapa pertanyaan seperti:
  1. Gambaran dimensi-dimensi tulang pinggul lansia berdasarkan hasil X-Ray, seperti kepadatan tulang, diameter endokortikal, lebar leher femur, dan dimensi lainnya
  2. Prevalensi patah tulang pinggul pada wanita lansia pada desa dan kota di 10 Provinsi terbesar di Indonesia
  3. Trend kejadian patah tulang pinggul pada wanita lansia dari tahun 2005-2014 di Indonesia
  4. Proporsi konsumsi vitamin D, kalsium dan penggunaan hormon steroid pada wanita lansia
  5. Gambaran kebiasaan aktifitas fisik wanita lansia di Indonesia



Bagaimana studi analitik? Kita bisa menghubungkan beberapa variabel, misalnya:
  1. Identifikasi perbedaan umur dan kepadatan tulang pada wanita lansia
  2. Analisa hubungan konsumsi kalsium dan vitamin D terhadap kejadian patah tulang pinggul
  3. Identifikasi hubungan antara aktifitas fisik dan pencegahan patah tulang pinggul pada wanita lansia dan sebagainya.

Langkah-langkah dalam menentukan tipe desain studi observasional dalam epidemiologi[1, 2], pelajari kembali STUDI KASUS 1

Tahap pertama: tentukan variabel dependen dan variabel independennya. Dalam studi ini, dapat kita pelajari bahwa variabel independennya adalah Program Terapi Rumatan Metadon sedangkan variabel dependennya adalah angka kesakitan atau kematian akibat HIV/AIDS dan penyakit yang ditularkan melalui darah lainnya dan overdosis narkoba


Tahap kedua: tentukan studi desain yang tepat untuk mengetahui efektivitas PTRM. Secara garis besar, studi desain observasional ada 3 jenis:Potong Lintang (Cross sectional), Kohort (Cohort), dan Kasus Kontrol (Case-control). Perbedaan secara umum terletak pada faktor paparan (exposure factors) dan kejadian penyakit (disease). Studi desain potong lintang, faktor paparan dan kejadian penyakit terjadi pada masa sekarang secara bersamaan (in the present); studi desain kasus-kontrol, faktor paparan terjadi dimasa lalu dan kejadian penyakit terjadi pada masa sekarang; sedangkan desain kohort, faktor paparan terjadi dimasa sekarang, lalu diselidiki hingga kejadian penyakit apakah akan terjadi di masa depan.


Studi lainnya, studi ekologi jarang digunakan untuk membuktikan uji hipotesa sebab akibat tetapi sering menjadi dasar untuk mengembangkan hipotesa. Studi ini mudah dilakukan jika data rutin siap tersedia, tapi hasil studi ekologi sulit untuk interpretasikan. Perbedaan angka kesakitan atau kematian pada beberapa populasi yang dibandingkan sangat besar dipengaruhi oleh faktor paparan lainnya, dengan kata lain faktor perancu dalam studi ekologi sangatlah tinggi[2].


Desain Potong lintang (Cross Sectional)
Bila kita memiliki keterbatasan dana, waktu dan tenaga, alternatif desain yang sederhana adalah desain potong lintang. Desain potong lintang dikenal juga dengan istilah survey. Kunci utama dalam desain potong lintang adalah sampel dalam suatu survey direkrut tidak berdasarkan status paparan atau suatu penyakit/ kondisi kesehatan lainnya, tetapi individu yang dipilih menjadi subjek dalam penelitian adalah mereka yang diasumsikan sesuai dengan studi yang akan kita teliti dan mewakili populasi yang akan diteliti secara potong lintang sehingga hasil studi bisa digeneralisasikan ke populasi. Oleh karena itu, faktor paparan dan kejadian penyakit/kondisi kesehatan diteliti dalam satu waktu.[2]
Dalam studi kasus 1, kita mengamati pengguna narkoba suntik tanpa membedakan mereka akses atau tidak akses PTRM atau status mereka dari HIV/AIDS atau overdosis narkoba. Sampel kita semua pengguna narkoba lalu kita telusuri apakah mereka akses PTRM dan pernah overdosis atau sebaliknya. Perhitungan yang bisa dihitung angka prevalensi dan rasio prevalensi. Kita mengumpulkan data dalam satu waktu dengan target sampel adalah pengguna narkoba suntik di suatu daerah atau Provinsi (lihat gambar 5)

Banyak sekali survey, studi deskriptif yang dilakukan di Indonesia. Contoh penelitian yang menggunakan desain ini adalah Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilaksanakan Kementrian Kesehatan Indonesia, surveilans terpadu biologis dan perilaku (STBP) pada kelompok resiko tinggi HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya, Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). Jika kita ingin menganalisa lebih lanjut dengan menghubungkan beberapa variabel yang ada pada survey diatas, misalnya hubungan antara pengetahuan ibu tentang HIV/AIDS terhadap sikap ibu kepada ODHA, data pada Riskesdas maka kita lakukan studi potong lintang dan bisa menghitung rasio prevalensi atau asosiasi yang kita inginkan.

Kelemahan studi desain potong lintang, antara lain:
  1. Keterbatasan dimensi dari interpretasi sebab akibat, yang kita kenal dengan istilah fenomena ayam dan telur (chicken and egg), kita kurang mengetahui apakah sebab atau akibat duluan dari suatu kondisi kesehatan atau penyakit.
  2. Desain ini tidak efisien untuk faktor paparan atau penyakit (outcome) yang jarang terjadi. Untuk pengolahan data analitik, kita membutuhkan faktor paparan dan penyakit dengan jumlah yang cukup sehingga peneliti bisa melakukan analisa asosiasi lebih lanjut.
  3. Kasus prevalensi kemungkinan tidak mewakili semua populasi jika angka rata –rata respons (response rate) yang bersedia mengikuti survey tidak mencapai target yang ditentukan.
Adapun kelebihan dari desain potong lintang adalah:
  1. Mengukur angka prevalensi, bukan angka insidens
  2. Sampel dalam studi dapat mewakili populasi dengan teknik sampling
  3. Metode dan desain serta definisi penelitian bisa distandardisasi, reliable dan single blind sehingga survey berulang dapat dilakukan untuk mengetahui trend penyakit atau kondisi kesehatan dan kebutuhan pelayanan kesehatan suatu negara dalam kurun waktu tertentu.
  4. Sumber daya dan dana yang efisien karena pengukuran dilakukan dalam satu waktu
  5. Kerjasama penelitian (response rate) dengan desain ini umumnya tinggi.

Desain Kasus Kontrol
Ketika kita bisa membedakan status responden sebagai kelompok yang menderita suatu penyakit atau suatu kondisi kesehatan dan status responden yang sehat atau memiliki penyakit lainnya, maka kita bisa melakukan penelitian dengan kasus kontrol atau case control. Ada dua kelompok partisipan yang akan direkrut dalam penelitian dengan studi ini, kelompok kasus dan kelompok kontrol. Partisipan di kelompok kasus pada sumber populasi didefinisikan sebagai semua orang yang akan datang ke pusat layanan kesehatan, baik Klinik, Puskesmas maupun Rumah Sakit dan datanya akan disimpan dalam rekam medis jika mereka menderita penyakit yang akan diteliti. Permasalahan yang sering muncul, pusat layanan kesehatan umumnya melayani masyarakat yang berbeda penyakitnya sehingga pola rujukan dan reputasi pusat layanan kesehatan sangat menentukan perekrutan kelompok kasus yang optimal [5].

Sedangkan, partisipan pada kelompok kontrol, dapat dipilih dengan beberapa cara, antara lain[5]:

  1. Kontrol dari Populasi (Population controls): kelompok kontrol diambil langsung dari populasi, umumnya dilakukan jika ada data registrasi populasi, atau kelompok tertentu. Hal ini biasanya dilakukan di negara maju yang memiliki data registrasi yang komprehensif sehingga bisa dilakukan melalui telepon, dan melalui surat/pos.
  2. Kontrol dari tetangga(Neighbourhood controls): kelompok kontrol diambil dari sekitar kelompok kasus yang ada, misal lebih kurang 10 meter tinggal di sekitar kasus. Misal, satu kasus yang melakukan bunuh diri, kelompok kontrol dipilih dari tetangga yang tidak melakukan bunuh diri.
  3. Kontrol dari Klinik atau Rumah Sakit (Hospital or clinic based controls): kelompok kontrol dipilih pada pusat layanan kesehatan yang sama dengan kelompok kasus direkrut, tetapi memiliki penyakit yang berbeda dan penyakitnya tidak berhubungan dengan faktor paparan pada kelompok kasus, misal kelompok kasus adalah pasien Kanker Paru, kelompok kontrol bisa dipilih dari pasien yang menderita gangguan pencernaan, sangat dihindari memilih kelompok kontrol yang juga merokok karena berhubungan dengan kanker paru.
  4. Kontrol dari orang yang telah meninggal (Dead people): kelompok kontrol direkrut dari responden yang telah meninggal karena penyakit lain dari kelompok kasus, umumnya kita menggunakan proxy atau perwakilan kelompok kontrol yang bisa kita wawancarai sama seperti menginvestigasi informasi dari keluargakelompok kasus yang telah meninggal.
Mari kita aplikasikan studi kasus 1 dengan studi desain kasus kontrol, penulis telah membuat alur penelitian dengan desain kasus kontrol dibawah ini, coba jelaskan bagaimana penelitian ini bisa dilakukan dengan desain ini. Silahkan coba anda jelaskan alur diatas, Apa yang kita mulai, dari mana kita memulai dan apa yang kita telusuri ke belakang??


Untuk memahami desain ini, kita lanjutkan pada studi kasus 2. 

“Peneliti ingin mengetahui apakah status gizi ibu mempengaruhi kejadian BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) di Sumatera Selatan.Karena kejadian BBLR tidak terlalu sering terjadi, maka peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian dengan desain kasus kontrol”.Apa yang harus kita pahami dalam studi kasus 2 ini? 
Pertama, peneliti menentukan kriteria kelompok kontrol dan kasus. Untuk kelompok kontrol, peneliti memberi kriteria yaitu ibu yang melahirkan anak yang tidak BBLR (>=2500 gram), sedangkan untuk kelompok kasus, kriteria inklusinya adalah ibu yang melahirkan anak yang BBLR. Peneliti ingin mengetahui hubungan status gizi ibu dengan resiko terjadinya BBLR. Lalu peneliti menanyakan pertanyaan berkaitan dengan status gizi(dengan kategori status gizi ibu baik dan status ibu gizi kurang) dan resiko BBLR kepada ibu-ibu yang baru saja melahirkan anaknya di beberapa Rumah Sakit dan Klinik Bersalin di Sumatera Selatan. Coba perhatikan alur desain penelitian kasus kontrol dbawah ini, dan coba buat alur yang sama untuk studi kasus BBLR.

Silahkan gambar alur penelitian studi kasus 2 Status gizi Ibu dan kejadian BBLR dengan studi desain kasus kontrol berdasarkan gambar 8.

Berdasarkan dua studi kasus sebelumnya, mari kita simpulkan kelemahan dan kelebihan penelitian dengan menggunakan studi desain kasus kontrol. Kelemahan penelitian dengan studi desain kasus kontrol adalah, [5],
  1. Hanya bisa menginvestigasi satu outcome atau satu kondisi kesehatan/penyakit, karena kita mulai dari satu kondisi kesehatan dan kita kilas balik ke belakang banyak paparan yang mungkin telah terjadi.
  2. Tidak bisa menghitung angka insiden atau ukuran asosiasi absolut lainnya. Kasus dipilih dari populasi sumber yang memiliki outcome, sedangkan kelompok kontrol merupakan estimasi distribusi faktor paparan dari populasi sumber, sehingga hasil perhitungan yang kita dapatkan adalah Odds Rasio (OR). Walaupun asosiasi bisa ditegakkan dengan perhitungan Odds rasio, tetapi tidak bisa menghitung resiko absolut (abosulute risk) karena angka insidens tidak diketahui
  3. Bias seleksi. Tidak mudah untuk memilih responden pada kelompok kontrol, karena responden sebisa mungkin tidak terpapar dari faktor resiko yang merupakan penyebab dari penyakit pada kelompok kasus, karena kemungkinan kelompok kontrol bisa menderita sakit yang sama seperti kelompok kasus, tetapi masih tahap tanpa gejala (asymptomatic group) dengan faktor resiko tersebut. Sehingga kemungkinan terjadinya bias seleksi sangat besar. Misal, untuk mengetahui hubungan antara kasus kanker paru-paru dan merokok. Untuk pemilihan kasus kontrol, peneliti harus semaksimal mungkin untuk memilih kelompok ini pada pasien penyakit selain kasus kanker, yang tidak terpapar dengan rokok, misal penyakit mag, pasien katarak yang bukan perokok dsb.
  4. Bias Informasi. Seperti kita pahami, bahwa informasi yang kita akan dapatkan tergantung daya ingat responden. Rekam medis dapat meminimalisir bias informasi, tetapi tidak semua faktor resiko/paparan terdokumentasi pada rekam medis. Oleh karena itu, kemungkinan bias pada informasi tinggi, terutama untuk kelompok kontrol. Kelompok kasus akan cenderung lebih mengingat faktor resiko yang dia alami daripada kelompok kontrol. Seperti contoh diatas, ibu dengan anak BBLR, umumnya daya ingat akan faktor paparan yang dia alami, memorinya akan lebih tinggi daripada ibu yang melahirkan bayi normal, misalnya status merokok, status gizi, periksa kehamilan dan sebagainya.
Untuk kelebihanya, tentu saja desain ini sangat tepat sekali pada kasus yang jarang terjadi di masyarakat, seperti kasus kanker, HIV/AIDS, sehingga kita bisa mengetahui faktor risiko suatu kondisi kesehatan dengan metode retrospektif dengan cepat, responden ditanya tentang faktor paparan yang telah terjadi pada periode tertentu di masa lampau hingga terjadinya penyakit. Kemudian, desain ini bisa dilakukan pada jumlah sampel terbatas dan bisa mengeksplorasi banyak faktor paparan dimasa lampau pada satu outcome. Odds rasio nilainya mendekati risk rasio (risk ratio), terutama pada kasus yang jarang terjadi. Nilai odds rasio merupakan rata-rata, karena kelompok kasus dan kontrol seharusnya mewakili populasi dengan memperhatikan paparan [5].

Desain Kohort
Ketika peneliti mempunyai waktu, tenaga dan pendanaan yang cukup dan telah banyak penelitian sebelumnya melakukan penelitian dengan desain potong lintang dan kasus-kontrol, maka pilihan selanjutnya adalah desain kohort. Kelebihan studi kohort adalah kita bisa menilai kausalitas karena faktor paparan terjadi sebelum responden sakit, sehingga adanya tingkat alur jelas antara faktor paparan kemudian baru terjadi sakit. Oleh karena itu, tingkat bias bisa diminimalisir terutama bias informasi, karena responden diikuti oleh peneliti ke depan (prospektif). Kemudian faktor perancu bisa dikontrol dan memungkinkan beberapa outcome hasil penelitian dapat dihasilkan dalam penelitian ini. Studi ini juga sangat baik untuk faktor paparan yang jarang terjadi dan memungkinkan peneliti menghitung angka insiden (incidence rates).
Kelemahan studi dengan desain kohort adalah memerlukan waktu yang panjang terutama untuk mengetahui efek dari beberapa faktor paparan karena desain ini umumnya untuk menginvestigasi penyakit kronik. Desain ini juga membutuhkan jumlah sampel penelitian dalam cukup besar yang bisa bermanfaat jika adanya banyak sampel yang hilang sepanjang penelitian berlangsung dalam periode tertentu (loss of follow up). Biaya yang dibutuhkan juga tidak murah pada desain ini. Kelemahan lainnya, jika penyakit yang diteliti jarang terjadi baik di group yang terpapar dan group tidak terpapar, sangat sulit sekali mencari responden dalam jumlah yang sangat banyak.
Contoh yang fenomenal adalah Framingham Cohort, yang dilakukan pada lebih dari 5209 responden yang berumur 30-62 tahun di Framingham, Ma, Boston hingga tiga generasi yang dimulai pada tahun 1948 dan diikuti hingga lebih dari 50 tahun kedepan(untuk melihat hasil penelitian dapat diakses di http://www.bmc.org/strokecerebrovascular/research/framinghamstudy.htm).

Sudah lebih dari 1000 publikasi untuk penelitian ini. Contoh beberapa topik yang sudah dieksplorasi selama lebih kurang 50 tahun itu antara lain:

  1. Faktor risiko vaskular baik yang konvensional maupun baru
  2. Tindakan longitudinal penyakit subklinis yang dikumpulkan melalui ultrasound seri karotis, echocardiography, tonometry arteri dan CT dan MR pencitraan struktur jantung , arteri pusat dan arterosklerosis koroner.
  3. Data mengenai perubahan struktural dan fungsional subklinis yang menyertai penuaan otak dikumpulkan melalui MRI otak volumetrik dan pengujian kognitif rinci.
  4. Data insiden titik akhir klinis stroke, gangguan kognitif ringan tanpa demensia dan demensia klinis ( pembuluh darah dan tipe alzheimer ). Data ini dikumpulkan melalui pemeriksaan dan tindak lanjut oleh ahli saraf studi dan neuropsychologists. Informasi tentang fase klinis setelah onset penyakit juga tersedia.
  5. Informasi mengenai diet, aktivitas fisik, depresi dan jaringan sosial
  6. Data alternatif penyebab morbiditas dan mortalitas termasuk kanker, jantung dan penyakit pembuluh darah perifer, tulang, paru-paru dan penyakit ginjal
  7. Database genetik padat termasuk genom informasi polimorfisme lebar pada 550.000 SNP dan pemetaan lebih dari 50 gen kandidat potensial relevansi kardiovaskular pada lebih dari 9000 orang di 3 generasi
Untuk studi kasus 1, PTRM dan kejadian kematian akibat overdosis atau kesakitan akibat HIV/AIDS, penulis telah membuat alur penelitian dengan desain kohort dibawah ini, coba jelaskan bagaimana penelitian ini bisa dilakukan dengan desain ini !


LATIHAN STUDI DESAIN EPIDEMIOLOGI
  1. Jelaskan perbedaan studi kohot dan studi potong lintang?
  2. Berikan beberapa contoh judul penelitian dengan studi desain kasus kontrol?
  3. Berikan beberapa contoh judul penelitian dengan studi desain kohort?
  4. Berikan beberapa contoh judul penelitian dengan studi desain potong lintang?
  5. Jelaskan kelebihan dan kelemahan studi desain kasus kontrol?
  6. Buatlah mind mapping kesimpulan materi studi desain observasional?
DAFTAR PUSTAKA 
  1. Bonita R, Baeglehole R, Kjellstorm T. Basic of Epidemiology. Switzerland: WHO Press; 2006 [cited. Available from: http://whqlibdoc.who.int/publications/2006/9241547073_eng.pdf. p.39-51
  2. Webb P, Bain C, Pirozzo S. Essential Epidemiology, An Introduction for Students and Health Professionals. New York: Cambridge University Press; 2005. p. 118-145
  3. Najmah, Nuralam Fajar, RIco Januar Sitorus. The Effect of Needle and Syringe Program on Injecting Drug Users’ Use of Non-Sterile Syringe and Needle Behaviour in Palembang, South Sumatera Province, Indonesia International Journal of Public Health Research 2011; (Spesial Issue):193-9.
  4. Najmah, L. Gurrin, M.Henry, J.Pasco. Hip Structure Associated With Hip Fracture in Women: Data from the Geelong Osteoporosis Study (Gos) Data Analysis-Geelong,Australia. International Journal of Public Health Research 2011. 2011(Special Issue):185-92.
  5. Rothman KJ. Epidemiology, An Introduction. New York: Oxford University Press; 2002. p.57-93
  6. Richards D, Les Toop, Stephen Chambers, Lynn Fletcher. Response to antibiotivs of women with symptoms of urinary tract infection but negative dipstick urine test results: double blind randomised controlled trial. BMJ. 2008 22 June 2005:1-5.
  7. Sacher PM, Maria Kolotourou, Paul M. Chadwick, Tim J. Cole, Margaret S. Lawson, Alan Lucas, et al. Randomized Controlled Trial of the MEND Program: A Family-based Community Intervention for Childhood Obesity. Obesity. 2010;18(1):S62-S8.
  8. Elwood M. Critical Appraisal of Epidemiological Studies and Clinical Trials. New York: Oxford University Press; 2007. p. 19-44
  9. Dallas E. Study Design in Epidemiology. Melbourne; 2008 Contract No.: Document Number|.
Pendahuluan

Investigasi Epidemiologi bertujuan untuk menjawab fenomena kejadian kesehatan yang ada di populasi.Anda bisa mengaplikasikan berbagai tipe studi desain dalam investigasi anda, tergantung situasi dan kondisi tertentu dan tingkat validitas yang anda ingin capai. Perhatikan contoh dibawah ini, pernahkan anda bertanya akan suatu kondisi berikut ini;

  1. Anda ingin mengetahui trend penyakit di suatu daerah
  2. Anda ingin mengetahui hubungan antara variabel umur dan kejadian kanker prostat
  3. Anda ingin menganalisa perbedaan karakteristik anak-anak yang mengalami keracunan makanan dan tidak mengalami keracunan makanan pada saat pesta ulang tahun si X 
  4. Anda ingin mengetahui apakah rokok dapat menyebabkan berbagai kanker di masa depan.
  5. Kenapa angka prevalensi HIV lebih tinggi di Papua di bandingkan di Sumatera
  6. ……………………………………………………………………………
  7. ……………………………………………………………………………

(coba anda tulis pertanyaan dalam pikiran anda)

Secara garis besar, desain penelitian dalam epidemiologi terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu penelitian eksperimental dan penelitian observasi.Tujuan dari penelitian eksperimen/ uji klinis adalah untuk mengukur efek dari suatu intervensi terhadap hasil tertentu yang diprediksi sebelumnya. Desain ini merupakan metode utama untuk menginvestigasi terapi baru.Misal, efek dari obat X dan obat Y terhadap kesembuhan penyakit Z atau efektivitas suatu program kesehatan terhadap peningkatan kesehatan masyarakat. 

Sedangkan penelitian observasional tidak melakukan intervensi apapun, tetapi, peneliti hanya mengobservasi kejadian atau fenomena yang terjadi di suatu masyarakat untuk menjawab pertanyaan penelitian. Misalnya, peneliti ingin mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu tentang gizi anak terhadap status gizi anak. Peneliti tidak melakukan intervensi berupa penyuluhan atau pelatihan seputar gizi anak kepada target penelitian terlebih dahulu. Peneliti hanya menyelidiki apakah salah satu yang mempengaruhi status gizi anak itu adalah pengetahuan ibu yang telah mereka miliki sebelumnya tentang gizi anak, mungkin dari media atau penyuluhan rutin oleh tenaga kesehatan di lokasi setempat. 

Contoh lainnya, peneliti ingin mengetahui faktor apakah yang berkaitan dengan kejadian bunuh diri di daerah X. Peneliti bisa mengumpulkan data dari keluarga yang salah satu anggota keluarganya melakukan bunuh diri kemudian dibandingkan dengan data dari keluarga yang tidak ada anggota keluarganya bunuh diri untuk menyelidiki penyebabnya. Penyelidikan fenomena bunuh diri bisa dengan mengumpulkan informasi mengenai sosioekonomi, status pernikahan, perilaku minum alkohol, kekerasan dalam rumah tangga, atau pertanyaan lainnya pada dua kelompok tersebut, lalu membandingkannya.


STUDI KASUS

Untuk lebih memahami perbedaan studi klinis dan observasi, coba diskusikan contoh kasus ini,seorang peneliti ingin mengetahui apakah layanan pemberian metadon dalam Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) kepada pengguna narkoba suntik dapat mengurangi penularan penyakit menular seksual berbasis darah termasuk HIV/AIDS dan kematian karena overdosis narkoba di Kota Palembang, Indonesia’, desain studi apakah yang cocok untuk mengetahui efektifitas PTRM terhadap penurunan HIV/AIDS dan kejadian overdosis? Mari kita diskusikan pada pembahasan selanjutnya.


on Minggu, 05 Oktober 2014

  1. Jelaskan yang anda pahami dari skirining dalam Epidemiologi ?
  2. Kenapa kita melakukan skrining/penapisan ?
  3. Berikan contoh pelaksanaan tes Skrining/penapisan pada Badan Kesehatan Dunia, tuliskan sumber website sumber contohnya (www.who.int) ?
  4. Jelaskan perbedaan sensitivitas dan spesifisitas ?
  5. Jelaskan yang dimaksud dengan sensitivitas dan spesifisitas rendah?
  6. Jelaskan perbedaan nila prediksi positif true positive value dan nilai prediksi negative- true negative value?
  7. Lakukan perhitungan untuk soal dibawah ini, hitunglah sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif positif dan nilai prediktif negative, dan interpretasikan ?
  8. Sebuah Tes Skrining/penapisan dengan mamografi untuk mendeteksi kanker payudara di Provinsi X sedang dievaluasi keefektifan dan sensitivitasnya. Mamografi tersebut dilakukan pada 880 WUS. Dan didapatkan fakta bahwa dua ratus orang yang didiagnosis terkena penyakit kanker payudara, hasil ujinya Positif. Sedangkan dua puluh orang yang terkena kanker payudara, menunjukkan hasil uji yang Negatif. Dan terdapat 30 orang yang tidak terkena penyakit kanker payudara, hasil mamografinya Positif. Berdasarkan Informasi tersebut, maka : a. Identifikasikan jumlah WUS yang masuk dalam kategori : Positif Benar/True Positive ; Positif Palsu-False Positive; Negatif PalsuFalse Negative dan Negatif Benar True Negative? Gambarkan tabelnya b. Hitunglah presentase Sensitivitasnya? c. Tentukan berapa Spesivisitasnya? d. Berapakah nilai prediktif positifnya? e. Berapakah nilai prediktif negatifnya? f. Berikan satu contoh perhitungan sensitivitas dan spesifisitas pada data kesehatan?
  9. Dilakukan Tes Criatinine Kinase untuk Membantu Diagnosis Infark Otot Jantung pada Rumah Sakit X, hasil diperoleh sebagai berikut. Hitunglah sensitivitas dan spesifisitas dari skrining/penapisan Infark otot jantung? Berapa jumlah positif benar dan negative benar pada skrining/penapisan ini?
  10. Jelaskan prinsip-prinsip yang harus dipertimbangkan sebelum melaksanakan skrining/penapisan ?
Sedikit disinggung pada materi "Perhitungan Sensitivitas dan Spesifisitas" mengenai Nilai Prediktif Positif (NPP) dan Nilai Prediktif Negatif (NPN). Sudah kita ketahui bahwa Nilai prediktif positif adalah proporsi pasien yang benar benar positf (true positive) di antara keseluruhan penderita yang menunjukkan hasil tes konfirmasi positif. Sedangkan Nilai Prediktif Negatif adalah persentase dari semua pasien yang benar-benar negative(sehat/true negative) diantara semua pasien yang menunjukkan hasil tes negatif . Jika dibandingkan dengan pemeriksaan standar emas, nilai prediktif positif adalah probabilitas subjek yang diidentifikasi positif oleh alat ukur benar-benar akan positif menurut standar emas di kemudian hari. Sedangkan, nilai prediktif negatif adalah probabilitas subjek yang diidentifikasi negatif oleh alat ukur akan benar-benar negatif menurut standar emas di kemudian hari.



Alat ukur memiliki nilai prediktif positif tinggi bila dikemudian hari terbukti banyak terjadi positif benar (true positive) dan sedikit positif palsu (false positive). Alat ukur memiliki nilai prediktif negatif tinggi bila dikemudian hari banyak terjadi negatif benar (NB) dan sedikit negatif palsu (NP). Alat ukur memiliki validitas prediktif tinggi jika memberikan skor Nilai Prediktif Positif dan Nilai Prediktif Negatif mendekati 100%(9). Nilai prediksi positif dan negatif terhadap tes pap smear adalah 52% dan 90 %. Dari hasil tes pap smear dapat disimpulkan, bahwa tes pap smear memiliki nilai negatif tinggi, ini berarti dimasa yang akan datang, kejadian kasus kanker serviks sesuai dengan hasil tes pap smear akan terdeksi tinggi dan kemungkinan akan terjadinya negatif palsu sangat sedikit, karena mendekati 100 %. Sedangkan nilai prediksi positif menunjukkan bahwa hanya sekitar 52%; hanya sebagian hasil tes pap smear di masa akan datang akan menunjukkan orang yang benar-benar sakit.

Contoh 2: Skrining/Penapisan Malaria



Sebuah skrining/penapisan Malaria dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi X pada populasi anak < 5 tahun (terdapat 624 anak) di Kecamatan A Kab. Provinsi X pada bulan Oktober 2013, adanya kejadian luar biasa pada kelompok anak-anak pada tahun 2012 menjadi alasan dilakukannya skrining/penapisan. Gejala klinis malaria adalah panas lebih dari 5 hari, batuk-batuk, kesulitan dalam bernafas dan peningkatan ritme pernapasan. Untuk mengkonfirmasi kasus dilakukan pemeriksaan darah mikroskopik untuk menemukan adanya parasit malaria di dalam darah. Hasilnya sebanyak 463 orang yang menunjukkan gejala klinis malaria dan 220 diantaranya positif parasitemia. Selanjutnya 161 orang tidak ditemukan gejala klinis namun 32 sampel darah anak menunjukkan positif parasitemia.

  • Tabulasikan data di atas dan narasikan berapa jumlah Positif Benar, Negatif Salah, Positif Salah, dan Negatif benar ? 
  • Hitunglah sensitivitas tes darah mikroskopis untuk parasitemia Malaria ? 
  • Hitunglah spesifisitas tes darah mikroskopis untuk parasitemia Malaria ?
  • Hitunglah nilai prediktif positif dan nilai prediktif negatif tes darah mikroskopis untuk parasitemia Malaria?

Penyelesaian: 
Dari data pada table 2 dapat diketahui, jumlah true positif adalah 220 orang, jumlah false negatif 243 orang, jumlah false positif adalah 32 orang, dan jumlah true negatif adalah 129 orang. Dari kasus diatas dapat dibuat tabulasi data sebagai berikut. 

Tabel 2. Skrining/penapisan Gejala Malaria berdasarkan tes dara mikroskopis pada Kecamatan A Provinsi X

Sensitivitas Tes Darah Mikroskopis
Spesifisitas Tes Darah Mikroskopis

Interpretasi: Hasil sensitivitas menunjukkan hasil 47,5 % mengindikasikan bahwa tes darah mikroskopis dapat mengklarifikasikan anak-anak benar-benar dengan gejala Malaria sebesar 47,5 %, sedangkan hasil spesifisits menunjukkan hasil 80,12 % berarti tes darah mikroskopis dapat mengklarifikasikan anak-anak benar-benar sehat pada anak tanpa gejala Malaria sebesar 80,12 %.



Hasil nilai prediktif positif lebih tinggi dari nilai prediktif negatif. Hasil ini menunjukkan hasil tes mikroskopis positif dapat memprediksi anak-anak dengan gejala Malaria cukup tinggi, sedangkan hasil tes mikroskopis negatif dapat benar-benar memprediksi anak-anak bebas dari Malaria cukup rendah, dengan kata lain banyak kasus negatif berdasarkan hasil skrining/penapisan, pada kenyataannya memiliki penyakit malaria.

on Sabtu, 04 Oktober 2014
Salah satu kriteria dalam tes skrining/penapisan adalah akurat dan realibilitas. Akurat menunjukkan sejauh mana hasil skrining/penapisan sesuai dengan kenyataannya. Sedangkan reliabilitas berhubungan dengan standardisasi perangkat pengujian atau test konfirmasi(1). Dengan kata lain, reliabilitas menunjukkan konsistensi alat pengukuran, jika pengukuran dilakukan berulang kali, hasil yang diperoleh tidak jauh berbeda. Dalam tes konfirmasi, Thornier dan Remain (1961) menemukan sebuah metode yang bernama Screening Test Thorner-Remain. Metode ini berupa alat konfirmasi diagnosis berupa tabulasi 2 x 2 yang menghasilkan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif dan prevalensi(8).

Menurut kamus Epidemiologi (A Dictionary of Epidemiology), sensitivitas adalah proporsi orang yang benar-benar sakit dalam populasi yang juga diidentifikasi sebagai orang sakit oleh tes skrining/penapisan/penapisan. Sensitivitas adalah kemungkingkinan kasus terdiagnosa dengan benar atau probabilitas setiap kasus yang ada teridentifikasi dengan uji skrining/penapisan/penapisan. d (frase: tingkat true positif) (3). Hal yang sama yang disampaikan oleh webb, et.al (2005) bahwa sensitivitas merupakan ukuran yang mengukur seberapa baik sebuah tes skrining/penapisan/penapisan mengklasifikasikan orang yang sakit benar-benar sakit. Sensitivitas digambarkan sebagai persentase orang dengan penyakit dengan hasiltest positif juga (1). Jika dibandingkan dengan pemeriksaan standar (gold standar), Sensitivitas adalah proporsi subjek yang positif menurut standar emas yang diidentifikasi sebagai positif oleh alat ukur (9). 
Sensitivitas mengukur seberapa sering tes menjadi positif pada orang-orang yang kita tahu memiliki penyakit pada kenyataanya. Misalnya jika kita melakukan tes pada sampel untuk dikembangbiakkan (dikultur) dari 100 wanita dengan infeksi Klamidia Servik, selanjutnya hasil kultur menunjukkan 80 diantaranya positif. Dengan demikian, dapat dikatakan pada kasus ini sensitivitas dari kultur Klamidia jaringan adalah 80 %(10).

Sedangkan spesifisitas berdasarkan Kamus Epidemiologi adalah proporsi orang yang benar-benar tidak sakit dan tidak sakit pula saat diidentifikasi dengan tes skrining/penapisan/penapisan. Ini adalah ukuran dari kemungkinan benar mengidentifikasi orang tidak sakit dengan tes skrining/penapisan/penapisan (frase: angka true negatif). Hubungan yang ditunjukkan dalam tabel berikut ini empat kali lipat, di mana huruf a, b, c, dan d merupakan jumlah yang ditentukan tabel di bawah ini(3). Webb, et.al (2005) menyampaikan bahwa spesifisitas merupakan ukuran yang mengukur seberapa baik sebuah tes skrining/penapisan mengklasifikasikan orang yang tidak sakit sebagai orang benar benar yang tidak memiliki penyakit pada kenyataanya. Sensitivitas digambarkan sebagai persentase orang tanpa penyakit yang secara test negatif(1). Jika dibandingkan dengan alat ukur standar, Spesifisitas adalah proporsi subjek yang negatif menurut standar emas yang diidentifikasi sebagai negatif oleh alat ukur(9).

Sensitivitas rendah berarti bahwa tes akan melewatkan banyak individu yang memiliki penyakit ini, sedangkan spesifisitas yang rendah menunjukkan bahwa tes akan menempatkan banyak orang dalam kelompok yang berpenyakit meskipun mereka tidak memiliki penyakit. Dalam jargon epidemiologi dikatakan bahwa suatu skrining/penapisan/penapisan dengan sesisitivitas yang rendah akan meningkatkan beberapa jumlah ‘false negatif’ sedangkan jika suatu skrining/penapisan/penapisan memiliki spesifisitas yang rendah akan menghasilkan banyak ‘false positif’.


Validitas prediktif (predictive validity, prognostic validity) merujuk kepada kesesuaian antara hasil pengukuran alat ukur sekarang dan hasil pengukuran standar emas di masa mendatang. Berbeda dengan validitas sewaktu, hasil pengukuran standar emas dalam validitas prediktif belum tersedia saat ini, melainkan baru diketahui beberapa waktu mendatang. (9) Nilai prediktif positif adalah proporsi pasien yang benar benar positf (true positive) di antara keseluruhan penderita yang menunjukkan hasil tes konfirmasi positif.(8) Nilai ini menjelaskan kita seberapa besar kemungkinan hasil tes positif menunjukkan adanya penyakit (1).Nilai Prediktif Negatif adalah persentase dari semua pasien yang benar-benar negative(sehat/true negative) diantara semua pasien yang menunjukkan hasil tes negatif (1). Jika dibandingkan dengan pemeriksaan standar emas, nilai prediktif positif adalah probabilitas subjek yang diidentifikasi positif oleh alat ukur benar-benar akan positif menurut standar emas di kemudian hari. Sedangkan, nilai prediktif negatif adalah probabilitas subjek yang diidentifikasi negatif oleh alat ukur akan benar-benar negatif menurut standar emas di kemudian hari(9).


PERHITUNGAN SENSITIVITAS DAN SPESIFISITAS


Dalam pelaksanan test skrining/penapisan, kita dapat melakukan evaluasi terhadap hasil test yang dilakukan dengan membandingkan hasil dengan Standar Emas atau standar yang paling baik (‘gold standard’) yang secara ideal akan memberikan 100 % hasil yang benar. Tes standar ini boleh jadi lebih mahal dan sangat memakan waktu yang lama atau mungkin kombinasi pelaksanaan investigasi di rumah sakit ini sangat tepat/realiabel untuk melakukan diagnosis tapi tidak cocok untuk penggunaan skrining/penapisan/penapisan yang rutin. (1) coba anda perhatikan gambar dibawah ini, apa yang bisa anda simpulkan ?



Kita analogikan pada kasus kanker servik dengan tes Pap Smears. Dari tabel 1. Dapat disimpulkan empat outcome yang dapat terjadi pada tes skrining/penapisan kanker serviks pada wanita usia subur. Seorang wanita dengan kanker serviks ketika di periksa dengan pap smear hasilnya juga positif kanker servik, disebut Positif Benar atau True positive’, sedangkan jika hasil tes pap smearnya negatif, disebut Positif Palsu atau ‘false positive’. Sedangkan jika wanita pada kenyataannya tidak menderita kanker serviks, pada tes pap smear pun menunjukkan hasil negatif, disebut dengan negative benar atau true negative, sebaliknya kalau hasil tes menunjukkan positif, maka disebut dengan negatif palsu atau ‘false negative’. 1) Berapa jumlah wanita dengan kanker serviks dan hasil paps smearnya menunjukkan positif ? 2) Berapa jumlah wanita sehat yang pada tes pap smear hasilnya negatif dan tes pap smear menunjukkan hasil positif? (Jawaban 1. PB ’50’; 2. NB’90’&PP’45’)

Untuk pengujian yang akurat harus menghasilkan kategori kelompok positif palsu dan negatif palsu yang sedikit. Jadi, bagaimana melakukan tes skrining/penapisan kanker serviks yang baik ? ada dua hal yang harus dipertimbangkan yaitu seberapa baik tes skrining/penapisan ini mengidentifikasi wanita yang benar-benar menderita kanker serviks dalam artian kategori Positif benar ? dan seberapa tepat tes ini mengklasifikasikan wanita sehat pada tes pap smear negatif dalam artian kategori Negatif Benar ? (1). Untuk itu perhitungan sensitivitas dan spesifisitas dilakukan.


Spesifisitas mengukur seberapa sering tes menjadi negatif ketika sedang digunakan pada orang-orang yang kita tahu tidak memiliki penyakit. Idealnya, sebuah hasil tes konfirmasi untuk penyakit haruslah selalu negatif ketika digunakan pada orang yang sehat dan hal yang demikian disebut dengan memiliki spesifisitas 100 %(9). Dari hasil diatas, diketahui bahwa sensitifitas tes pap smear adalah 83% dan spesifisitas 67%. Dari hasil ini dapat disimpulkan, tes pap smear dapat mengklarifikasikan WUS dengan kanker serviks benar-benar sakit pada kenyataannya adalah sekitar 83%. Sedangkan, hasil tes paps semar dapat mengkonfirmasi wanita usia subur yang benar-benar bebas dari kanker serviks sesuai hasil dan kenyataannya sebesar 67%.